Kamis 24 Apr 2014 13:09 WIB

Industri Migas Indonesia Masih Seksi

Rep: Agung Sasongko/ Red: Nidia Zuraya
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN – Produksi Minyak dan Gas (Migas) Indonesia terus mengalami penurunan. Ini berdampak pada capaian lifting minyak mentah yang tidak sesuai target.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Februari silam mengungkapkan realisasi lifting minyak sampai dengan 12 Februari 2014 tercatat 790,3 ribu barel per hari. 

Realisasi ini lebih rendah dibandingkan target yang tertuang dalam asumsi dasar ekonomi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sebesar 870 ribu barel per hari. 

Sementara dalam rencana kerja dan anggaran yang diajukan kontraktor kerja sama (KKS), produksi minyak bumi pada tahun 2014 diproyeksikan 803,8 ribu barel per hari. Melesetnya target lifting minyak ini disinyalir akibat masalah klasik yakni semakin uzurnya sumur minyak di Tanah Air.

Vice President External Relations & General Counsel Total E&P Indonesie, Nurman Djumiril mengatakan eksplorasi sumur migas baru sudah harus dilakukan. Ini mengingat, sumur migas yang sudah ada terbilang tua. “Bukan berarti sumur lama tidak bisa dikembangkan, hanya saja pengembangan yang dilakukan cuma menekan laju penurunan produksi,” kata dia di Balikpapan, Kamis (24/4).

Masalahnya, lanjut dia, ketika mulai dilakukan eksplorasi, yang terjadi justru operator mengalami ‘gangguan’. Sebabnya, kerjasama yang baik antara pemerintah Indonesia dan operator mutlak diperlukan. Seperti misal, adanya kepastian, regulasi yang jelas. "Industri migas membutuhkan kepastian,” kata dia.

Nurman mengatakan kerjasama yang dimaksud pastinya tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Tidak ada satu pihak yang untung, lalu pihak lain dirugikan. Tentu, kerja sama yang baik antara pemerintah Indonesia dan operator harus terjalin. “Perlu Anda ketahui, tantangan industri migas ke depan adalah eksloprasi yang makin ‘mendalam’ dan berbiaya tinggi,” kata dia.

Perlu diingat pula, industri migas itu bukan perkara produksi tetapi juga bagaimana menggantikan reservoir (sumur migas) yang sudah ada dengan wilayah kerja baru. “Kalau hanya itu-itu saja, implikasinya jelas, sumber yang ada habis. Ibaratnya, warisan yang ditinggalkan orang tua ludes, padahal idealnya dilipatgandakan,” tuturnya.

Total, kata dia, melihat industri migas Indonesia masih seksi. "Masih banyak yang bisa dikembangkan. Artinya masih banyak jalan menghindarkan Indonesia dari krisis energi," ujar Nurman.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement