REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Direktur Relife Property Group Ghofar Razaq Nazila mengungkapkan perspektifnya terkait kebijakan pemerintah, melalui Kementerian Perumahan Rakyat, yang menghentikan penyaluran subsidi berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR) via skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk rumah tapak mulai Maret 2015.
Menurut Razaq, kebijakan apa pun terkait subsidi rumah, nilainya tidak signifikan dibanding pertumbuhan harga tanah yang tidak terkendali. "Kuncinya di situ. Harga tanah itu harus terkendali. Pengembang ini simpelnya manakala mendapatkan harga tanah yang murah," ujar Razaq melalui sambungan telepon kepada ROL, Rabu (7/5).
Razaq menjelaskan, besarnya pengaruh harga tanah lantaran harga bahan-bahan dalam membuat rumah seperti harga batu bata, semen, batu hingga pasir terbentuk pada struktur biaya yang sama. Perbedaan harga rumah bergantung pada spesifikasi rumah yang diinginkan. "Sehingga, pemerintah harus berpikir land banking," kata Razaq.
Hal tersebut menjadi kunci lantaran pemerintah berkeinginan untuk mengatasi backlog (kekurangan unit rumah) sebesar 15 juta unit serta selisih supply and demand 800 ribu unit rumah setiap tahun. "Pengembang harus belanja tanah dengan harga di bawah Rp 100 ribu per meterpersegi. Apalagi, market itu ada karena masyarakat menengah ke bawah banyak yang gak punya rumah," ujar Razaq.
Lebih lanjut, Razaq mengaku selain permasalahan harga tanah, Pemerintah perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan kawasan. "Kita lihat saja kebijakan ini nantinya. Tentu kita menghargai upaya pemerintah di bidang kebijakan. Walau nanti kebijakannya sudah berjalan, khawatir ada miss match di lapangan."