Antagonisme Puasa (2)

Red: Chairul Akhmad

Senin 23 Jun 2014 22:31 WIB

Puasa dalam konsepsi Islam merupakan aktivitas spiritual yang bertabur ajaran perilaku. Foto: Republika/Tahta Aidilla Puasa dalam konsepsi Islam merupakan aktivitas spiritual yang bertabur ajaran perilaku.

Oleh: Saharuddin Daming

Jika pola konsumsi di luar Ramadhan umumnya hanya menyajikan menu standar, menu untuk Ramadhan umumnya dibuat spesial.

Selain karena alasan puasa yang memerlukan nutrisi dengan kualitas gizi yang lebih baik, juga ada yang melakukannya sebagai pemicu selera makan.

Hal serupa juga terlihat pada aspek sosial. Tidak dapat disangkal jika timbulnya kerelaan melakukan aktivitas dengan menahan haus dan lapar dalam berpuasa tidak lain adalah poor aware training untuk mempertajam tumbuhnya kepekaan sosial.

Ini penting sebab bukankah suatu hal yang berkonotasi hipokrit dan apologi jika ontologi pemahaman lapar dan haus sebagai basis utama kemiskinan dapat dicapai tanpa epistemologi secara empiris melalui experiencing the poor.

Sayangnya, ajaran luhur puasa ini ternyata tidak begitu tampak dalam manifestasi kehidupan sosial secara riil. Kepekaan sosial yang diajarkan puasa, ternyata lebih sering diekspresikan dalam konteks pewacanaan formal.

Banyak keluarga Muslim yang mapan secara ekonomi, lebih sering menghambur-hamburkan kekayaannya untuk memperkuat status sosialnya di hadapan kaum elite daripada menyantuni fakir miskin.

Titik bias yang paling krusial di balik pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Islam pada umumnya terlihat dalam aspek pembentukan sikap dan perilaku jujur dan adil. Sudah merupakan pengetahuan umum di kalangan kita jika kua litas nilai puasa sesungguhnya terletak pada kemampuan mengendalikan emosi destruktif.

Dengan demikian, output dari the highest value puasa tidak lain adalah melahirkan sikap yang konstruktif seperti jujur dan adil itu.

Berbanding terbalik

Sungguh hal yang sangat ironis karena Ramadhan dengan misi luhurnya seperti ini ternyata sering tidak berban ding lurus dengan realitas kehidupan umat dewasa ini.

Tengoklah sebagian besar di antara kita yang mengaku sukses menahan lapar dan haus dalam berpuasa, tetapi rupanya sukses juga memelihara kebiasaan destruktif, seperti ghibah, dusta, dan fitnah. Bahkan hal yang disebut terakhir, kadang-kadang memperoleh porsi yang lebih besar daripada sekadar menahan haus dan lapar itu sendiri.

*Mantan Komisioner Komnas HAM.

Terpopuler