Sindiran Tuhan

Red: Chairul Akhmad

Rabu 25 Jun 2014 11:07 WIB

Manusia mensyukuri nikmat Allah SWT dengan cara menyembah dan beribadah kepada-Nya. Foto: Republika/Yasin Habibi Manusia mensyukuri nikmat Allah SWT dengan cara menyembah dan beribadah kepada-Nya.

Oleh: Endrio Susila

Manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus). Ciri ini tampak dari kenyataan bahwa manusia menggunakan pertimbangan ekonomis (untungrugi) dalam mengambil berbagai keputusan.

Berbagai upaya dilakukan manusia untuk meningkatkan perekonomiannya seperti melakukan investasi, alih profesi, transmigrasi, urbanisasi, termasuk juga mencari nafkah di luar negeri. Berbagai fenomena tersebut meneguhkan kedudukan manusia sebagai makhluk ekonomi.

Karakter sebagai makhluk ekonomi ternyata berlaku juga dalam kehidupan beragama. Banyak orang Islam yang menjalankan ibadah karena ingin memperoleh keuntungan berupa pahala di akhirat. Bila pahala dilipatgandakan, maka akan berlipatganda pula semangat ibadahnya.

Di bulan suci Ramadhan, peningkatan semangat beribadah di kalangan umat Islam begitu jelas terlihat. Masjid dan mushala di berbagai tempat mengalami kenaikan jumlah jamaah.

Peningkatan gairah ibadah di bulan suci Ramadhan tentu tidak dapat dilepaskan dari orientasi memperoleh pahala sebanyak-banyaknya. Di bulan suci Ramadhan Allah mengobral pahala, ibadah sunah diberi pahala seperti ibadah wajib dan ibadah wajib makin dahsyat pahalanya.

Perspektif ekonomi juga bisa digunakan untuk memotret hubungan antara manusia (hamba) dan Allah. Hubungan antara manusia dengan Allah dapat dilihat sebagai sebuah bentuk hubungan bisnis (jual beli).

Cara pandang seperti ini mendapatkan justifikasi dari Allah sendiri. Dalam surah at Taubah Allah SWT menyatakan, “sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka”.

Alquran juga mengintrodusir berbagai istilah yang nuansanya mirip dengan beberapa kosa kata yang dikenal dalam dunia bisnis. Ada istilah al-muflihuun (orang-orang yang beruntung) dan ada pula istilah al-khasiruun (orang-orang yang merugi). Untung dan rugi adalah istilah terpenting yang ada dalam dunia bisnis.

Selain itu ada juga istilah hisab yang artinya mirip dengan kata audit dalam dunia bisnis. Bahkan kehidupan dunia itu sendiri pun digambarkan Allah di dalam Alquran sebagai sebuah perniagaan (tijaarah).

Jika konstruksi hubungan antara manusia dan Allah dilihat sebagai sebuah bentuk hubungan jual beli, lantas siapakah yang berkedudukan sebagai penjual dan siapakah yang berkedudukan sebagai pembeli?

Dalam konteks kehidupan dunia, Allah berkedudukan sebagai penjual dan manusia berkedudukan sebagai pembeli. Dalam hal ini Allah memberikan kepada kita berbagai macam kenikmatan dan manusia mensyukurinya dengan cara menyembah dan beribadah kepada-Nya.

Jelas kiranya bahwa dalam perspektif bisnis, hubungan antara manusia dan Allah sebenarnya hanya menguntungkan salah satu pihak saja yaitu manusia, sedangkan Allah tidak memperoleh manfaat apa-apa. Allah menyatakan, “maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu”.

Menyadari berbagai kemurahan Allah itu, apakah pantas manusia ingkar kepada Allah Yang Maha Pemurah? Sungguh tepat sindiran Allah dalam surah ar- Rahman: “lalu nikmat Tuhan yang manakah yang kalian dustakan?”

Terpopuler