Selasa 11 Mar 2025 07:30 WIB

Efisiensi Anggaran Versi Prabowo

Upaya efisiensi belanja merupakan langkah yang tepat.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi berdialog dengan massa aksi saat aksi bertajuk Indonesia Gelap di Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Kamis (20/2/2025). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 terkait efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD lantaran dinilai tidak efektif dan akan mengganggu kerja di sektor lainnya terutama sektor pendidikan dan kesehatan. Selain itu, massa aksi juga menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, menolak Revisi Undang-Undang Minerba dan menghapus fungsi Dwifungsi ABRI.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi berdialog dengan massa aksi saat aksi bertajuk Indonesia Gelap di Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Kamis (20/2/2025). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 terkait efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD lantaran dinilai tidak efektif dan akan mengganggu kerja di sektor lainnya terutama sektor pendidikan dan kesehatan. Selain itu, massa aksi juga menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, menolak Revisi Undang-Undang Minerba dan menghapus fungsi Dwifungsi ABRI.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Senior Bright Institute

Awalnya ada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan pada 22 Januari 2025 tentang efisiensi belanja. Inpres ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan dengan Surat Edaran (SE) nomor S-37/MK.02/2025 pada 24 Januari 2025. Setelah tiga pekanberjalan, ternyata banyak dinamika dan diumumkan ada rekonstruksi yang cukup substantial.

Berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan asesmen sendiri untuk efisiensi belanja dengan acuan SE Menkeu senilai Rp256,1 triliun. Hasil identifikasi efisiensi dikomunikasikan dengan mitra komisi DPR. Datanya beredar dan diberitakan oleh media, bahkan ada yang dijelaskan sendiri oleh pimpinan K/L.

Sebagian cukup mengagetkan, karena pemotongan yang amat besar, melampaui acuan tingkat efisisensi yang disarankan SE Menkeu. Sebagai contoh Kementerian Pekerjaan Umum yang semula Rp 110,95 triliun menjadi Rp 29,57 triliun.

Tidak lama kemudian beredar besaran pemotongan beberapa K/L yang juga amat signifikan. Data yang diberitakan media kebanyakan bersumber dari rapat mereka dengan mitra komisi DPR. Ada pula yang dikemukakan ke publik oleh pihak K/L bersangkutan.

Informasi berkembang dengan cepat selama pekan pertama Februari, tentang efisiensi yang pada praktiknya berupa pemotongan anggaran belanja. Menariknya, diberitakan 16 K/L tidak mengalami pemangkasan. Dua diantaranya yang sejak awal memperoleh alokasi terbesar, yaitu Kementerian Pertahanan dan Polri.

Selama proses penyusunan besaran efisiensi, sebagian besar belanja K/L “diblokir” menunggu hasil. Reaksi netizen dan mungkin juga internal birokrasi terkesan makin tidak terkendali. Hingga akhirnya pada 7 Februari 2025, Wakil Ketua DPR yang juga petinggi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menginstruksikan kepada seluruh komisi di DPR menunda rapat pendalaman dengan K/L, karena akan ada rekonstruksi anggaran yang baru.

Beberapa hari kemudian, pada 11 Februari, Kemenkeu dan Setneg mengumpulkan seluruh K/L untuk menjelaskan nilai efisiensi baru. Dari berbagai informasi, yang disampaikan sudah berupa nilai alokasi untuk masing-masing. Diberitakan pada 13 Februari, seluruh K/L terkena pemangkasan.

Sempat beredar beberapa besaran alokasi baru bagi K/L di media. Namun diklarifikasi bahwa hasil putusan final yang resmi diundur hingga akhir Februari. Meski demikian, beberapa K/L tampaknya telah melakukan penyesuaian dengan alokasi yang baru tersebut.

Terkait kesimpangsiuran itu, jubir Menkeu Wihadi mengatakan ada miskomunikasi antara Kemenkeu dan tiap kementerian dan lembaga. Dikatakan bahwa rencana efisiensi yang dilakukan K/L ternyata tidak sesuai harapan. Akhirnya dilakukan rekonstruksi anggaran untuk menyusun ulang kebijakan efisiensi sekaligus menetapkan item belanja yang bisa dipangkas secara detail.

Alokasi baru itu belum dipublkasi remsi, secara cukup mengejutkan, pada 15 Februari dalam acara partai Gerindra, Presiden Prabowo mengemukakan hal baru. Akan ada tiga putaran pemangkasan anggaran. Belum ada kejelasan, apakah termasuk putaran pertama di atas, ataukah tambahan lagi.

Paparan menampilkan putaran pertama penyisiran oleh Kementerian Keuangan disisir sebesar Rp 300 triliun dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN). Perlu diketahui bahwa BA BUN bukanlah belanja K/L, melainkan non K/L, seperti belanja bunga utang, subsidi, bansos, dan belanja lain-lain.

Pada tahap kedua, ditargetkan memangkas dana APBN setelah menyisir anggaran hingga ke satuan sembilan atau item belanja rinci dengan total sebesar Rp 308 triliun. Namun sebanyak Rp 58 triliun di antaranya bakal dikembalikan ke 17 kementerian dan lembaga.

Pada putaran ketiga disebutkan berasal dari laba badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp 300 triliun, dengan Rp 100 triliun di antaranya akan disalurkan untuk penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN. Rencana ini tidak bersesuaian dengan penyebutan item atau postur APBN yang biasa dikenal.

Bagian laba BUMN merupakan item dalam Pendapatan, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sedangkan PMN merupakan item dalam postur Pembiayaan Anggaran. APBN 2025 menargetkan setoran laba BUMN sebesar Rp 90 triliun dan PMN sebesar Rp 44,25 triliun. Bagaimana bisa ditafsirkan sebagai efisiensi anggaran (belanja) jika yang dipotong adalah pendapatan?

Perhitungan dalam paparan tentang tiga tahapan mencapai Rp 750 triliun. Bisa diartikan bahwa yang diuraikan di atas tentang Rp 306,69 triliun tercakup di sini. Dikatakan sebagian akan dialokasikan untuk makan bergizi gratis, dan sisanya akan diinvestasikan di Badan Pengelola Investasi Danantara.

Paparan menyisakan persoalan lainnya, jika ternyata rencana pembiayaan utang APBN 2025 sebesar Rp 775,87 triliun tidak berubah. Bisa dikatakan bahwa penghematan belanja yang direalokasikan ke MBG dan Danantara merupakan dana dari utang.

 

Tidak Mengikuti Kaidah Penyebutan Postur APBN

Kekisruhan informasi rencana efisiensi sebagaimana disinggung tulisan bagian satu disebabkan pidato Presiden Prabowo pada 15 Februari dalam acara partai Gerindra. Rencana tiga putaran pemangkasan anggaran, masih belum jelas apakah telah mencakup perintah Inpres No.1/2025 dan Surat Edaran Menteri Keuangan.

Jika dianggap mencakup pun, timbul beberapa masalah karena paparannya tidak mengikuti kaedah yang lazim dalam numenklatur, bahkan postur APBN. Istilah efisiensi atau pemangkasan secara logis hanya terkait belanja. Jika mau diperluas termasuk pembiayaan yang bersifat pengeluaran.

Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja Negara mencakup semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara, serta tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh negara di waktu mendatang.

Dalam konteks APBN, pengertian belanja negara lebih sempit dari pengeluaran negara. Pengeluaran negara merupakan uang yang keluar dari kas negara. Ada pengeluaran yang akan diterima kembali di masa mendatang, sehingga tidak dimasukkan ke dalam belanja. Contoh: pemberian pinjaman dan investasi untuk BUMN, BLU dan Badan Lainnya.

Belanja Negara terdiri dari dua kelompok, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). BPP dibelanjakan langsung oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan operasional maupun Pembangunan. Sedangkan TKD merupakan belanja pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah, dan masuk dalam APBD.

Salah satu yang disebut efisiensi berupa pengalihan laba badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp 300 triliun kepada Danantara. Bagian laba BUMN merupakan item dalam Pendapatan, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang ditargetkan sebesar Rp 90 triliun oleh APBN 2025.

Cukup membingungkan tema besar efisiensi anggaran, yang dipotong atau dipindahkan justrru pendapatan. Bahkan besaran Rp 300 triliun pun seolah dipaksakan, mengingat nilainya hanya kisaran Rp 80 triliun pada tahun 2023 dan 2024. Jika yang dimaksud berupa laba BUMN keseluruhan, maka perlu diingat ada bagian publik, karena tidak sepenuhnya milik Pemerintah.

Pada saat bersamaan, dikatakan Rp 100 triliun akan disalurkan untuk penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN, yang direncanakan sebesar Rp 44,25 triliun pada APBN 2025. PMN tidak bisa dialokasikan begitu saja, tanpa ada penetapan dalam APBN yang merupakan Undang-Undang. Bahkan, alokasi PMN selalu dilengkapi dengan proposal atau rencana bisnis dari BUMN yang akan diberi, bukan secara suka-suka Pemerintah.

 

Perubahan Postur APBN setelah Efisiensi

Hasil pemotongan belanja yang ditargetkan mencapai Rp 306 triliun versi Inpres atau sebesar Rp 750 triliun versi pidato Presiden Prabowo tadi sebenarnya belum dipastikan realokasinya. Salah satu yang banyak disebut adalah untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Akan tetapi, belum diketahui pula apakah itu berarti menambah alokasi Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai salah satu Lembaga setingkat Kementerian. Atau tersebar dalam beberapa Kementerian dan Lembaga. Sejauh informasi yang beredar hanya akan ditambah Rp 100 triliun, menjadi Rp 171 triliun. Artinya masih belum jelas alokasi sekitar Rp 156 triliun versi Inpres atau Rp 650 triliun versi pidato Presiden.

Bisa saja, sebagian hasil pemotongan untuk mengatasi kesulitan fiskal sedang dialami. Target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp 3.005 triliun berisiko tidak tercapai. Jika rencana belanja tidak berubah, hanya direalokasi, maka defisit sangat mungkin melampaui Rp 616 triliun dan rasionya mendekati tiga persen. Apalagi jika bagian laba BUMN sebesar Rp 90 triliun tidak masuk APBN, maka defisit makin lebar.

Bagaimanapun untuk menimbang manfaatnya jika setelah dipotong kemudian dialokasikan, perlu dicermati rincian. MBG sendiri belum cukup jelas pola pelaksanaannya, sehingga sulit mengukur outcome, yang salah satu dinarasikan memberi efek pengganda pertumbuhan ekonomi. Termasuk mendorong UMKM.

Sedangkan, belanja yang akhirnya dipotong apa saja. Tidak cukup dengan narasi ATK, perjalanan dinas dan rapat saja. Dari informasi yang beredar, yang dipotong termasuk belanja modal beberapa K/L. Bagaimanapun, pemotongan ini berdampak pada perekonomian. Mesti Dihitung hasil bersih antara tambahan manfaat (outcome) dengan kehilangan yang terjadi.

Begitu pula masih belum bisa dinilai apakah tepat untuk kondisi ekonomi saat ini, yang antara lain dicirikan turunnya daya beli masyarakat. Nanti tergantung yang ternyata banyak dipangkas apakah program yang memiliki “keterkaitan” kuat atau rendah bagi dinamika ekonomi, khususnya dunia usaha.

Harus dinilai oleh banyak pengamat dan mungkin juga diakui pihak ahli anggaran pemerintah bahwa efektivitas penggunaan anggaran oleh kementerian dan lembaga masih rendah. Begitu pula dengan tingkat efisiensinya.

Efektivitas diukur dari kinerja capaian output (produknya) dan yang lebih penting outcome dan impact (dampak). Sebenarnya tiap kegiatan dan program dalam dokumen penganggaran telah dicantumkan target keduanya. Dengan demikian, kurang efektif bisa bersumber dari perencanaan (penganggaran) dan bisa dari pelaksanaannya.

Sedangkan efisiensi dilihat dari besarnya biaya (input) dibandingkan dengan output dan outcome. Ini juga bisa berasal dari perencanaan (penganggaran) dan realisasinya. Di kedua bagian proses itu selalu bisa terjadi “penyelewengan” dan atau karena memang boros.

Penulis menilai upaya efisiensi belanja merupakan langkah yang tepat. Namun, ketidakjelasan dan ketidakpastian sejauh ini justru bisa memperburuk pengelolaan APBN. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setan anggaran bersembunyi dalam rincian.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement