REPUBLIKA.CO.ID, Bubur ini telah disajikan secara gratis kepada warga sejak 1930.
“Pembagian bubur setelah Ashar pukul 15.30 WIB.” Demikian bunyi pengumuman yang terpampang pada sebidang white board di halaman depan Masjid Darussalam, Jayengan, Solo. Pengumuman ini merupakan informasi kepada masyarakat yang ingin berbuka dengan bubur samin di masjid tersebut agar tidak kecele.
Maklum, peminat bubur samin, yang dikenal pula dengan sebutan burhan alias bubur Ramadhan, sangat banyak. Bukan hanya datang dari Kota Solo, melainkan juga dari wilayah lain di sekitarnya, seperti Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, dan Klaten. Mereka sengaja datang ke Masjid Darussalam hanya untuk menikmati gurihnya bubur samin.
Bahkan, demi menghormati masyarakat yang datang dari kota-kota lain itu, warga sekitar masjid kerap mengalah. Mereka memberi kesempatan kepada orang luar daerah untuk memperoleh jatah bubur tersebut.
Begitu banyaknya peminat bubur samin ini sehingga untuk mendapatkannya, mereka harus mengantre. Antrean itu begitu panjang hingga mengular di halaman masjid. Mereka secara tertib berdiri menunggu jatah bubur sembari menenteng rantang, termos kecil, dan stoples.
Tepat ba’da Ashar, petugas pembagian bubur di Masjid Darussalam mulai bekerja. Anwar, salah satu petugas, dengan sigap dan cekatan melayani warga. “Sabar-sabar, semua pasti mendapat jatah. Persediaan burhan masih cukup,” ujar pria berusia 50 tahun ini. Ia berusaha menenangkan warga yang mulai berdesakan dan menyerobot antrean.
Inilah kesibukan sekaligus kemeriahan setiap ba’da Ashar pada bulan Ramadhan di Masjid Darussalam. Sumber kemeriahan itu tak lain karena bubur samin, bubur legendaris yang telah disajikan sebagai menu berbuka di masjid tersebut selama puluhan tahun.
Lantas, mengapa namanya bubur samin? Ini karena membuatnya menggunakan minyak samin sebagai penyedap yang memberi cita rasa khas. Meski disajikan di sebuah masjid di Kota Solo, uniknya bubur samin ini bukan karya kuliner orang Solo.
Sejarah mencatat, bubur tersebut pertama kali dibuat oleh kalangan saudagar permata asal Banjar, Kalimantan Selatan.