Selasa 10 Feb 2015 07:34 WIB

Pengamat: Habis-habisan Umat Islam Dimanfaatkan Sistem Perbankan

Rep: c14/ Red: Agung Sasongko
Ratusan ribu umat Islam di seluruh dunia menjalani thawaf ba'da Shalat Isya di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Senin (29/9).(Republika/Zaky Alhamzah)
Foto: Republika/Zaky Alhamzah
Ratusan ribu umat Islam di seluruh dunia menjalani thawaf ba'da Shalat Isya di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Senin (29/9).(Republika/Zaky Alhamzah)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI, Senin (9/2) Malam, memasuki sesi pleno yang membahas penguatan peran ekonomi umat Islam untuk Indonesia berkeadilan. Salah satu pembicara dalam sesi tersebut, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai, umat Islam masih belum memahami betapa berbahayanya sistem ekonomi corporate capitalism, yang bertumpu pada riba pada sektor keuangan dan perbankan.

“Padahal, seperti dijelaskan dalam bahasanya Woodrow Wilson (Presiden Amerika Serikat ke-28), riba adalah sistem perbudakan,” ujar Noorsy.

Ia mengungkap sistem perbankan pun mengalami sesat pikir dalam mendefinisikan apa itu menabung. Padahal definisi itu sederhana yakni, orang menyimpan uang dan tidak bertambah maupun berkurang sedikit pun simpanan itu.

Namun, dalam sistem corporate capitalism, uang tabungan di bank-bank justru dipakai sebagai modal usaha oleh pihak lain. Sedangkan nasabah, diberi persepsi bahwa tiap nasabah mendapat penambahan nominal tabungan. Yang mana, diistilahkan sebagai bunga dalam perbankan konvensional atau bagi hasil dalam perbankan syariah.

“Memang apa bedanya syariah sama konvensional? Syariah kasih tahu nggak prinsip akuntansinya? Lalu kenapa kemudian, istilah menabungnya bergeser menjadi istilah investasi? Itu riba, Pak,” kata dia.

Menurut Noorsy, dari total rekening yang ada di bank-bank Indonesia, yakni sebanyak 156 juta rekening, sekitar 96 persen di antaranya dimiliki umat Islam. Lantas, lanjut Noorsy, dana sebanyak itu dipakai oleh sebagai modal investasi oleh kapitalis besar yang kebanyakan non-Muslim, sehingga secara riil tabungan kaum Muslim ini berkurang.

Namun, sistem corporate capitalism lantas membuat persepsi ke tiap nasabah, simpanan mereka tidak berkurang dan justru bertambah dengan adanya bunga atau, dalam perbankan syariah, skema bagi hasil.  Bagi Noorsy, ini berbahaya untuk umat Islam, sebagai mayoritas.

“Ini hanya bukti ketimpangan. Habis-habisan (umat Islam) dimanfaatkan mereka (pemilik bank-bank),” ujar Noorsy.

Karena itu, Noorsy menegaskan, perlu sekali bagi umat Islam merumuskan kembali sistem keuangan Islam yang tidak bersandar pada pola pikir corporate capitalism. “Uang diputarbalikkan menjadi sebuah permainan persepsi. Ketemulah cara Yahudi. Jadi, buat saya, ini dulu yang kita selesaikan,” pungkasnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement