Selasa 10 Mar 2015 15:18 WIB

Pengamat Ini tak Setuju HPP Beras Dinaikkan, Kenapa?

Rep: C78/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah istri nelayan mendatangi lokasi pembagian beras di Balaidesa Randusanga, Brebes, Sabtu (28/2).
Foto: Antara
Sejumlah istri nelayan mendatangi lokasi pembagian beras di Balaidesa Randusanga, Brebes, Sabtu (28/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Merespons rencana pemerintah yang ingin menaikkan Harga Pokok Penjualan (HPP) untuk pembelian beras petani, Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar justru tidak menyetujuinya. HPP justru jangan dinaikkan karena harganya sudah 30 persen di atas rata-rata harga beras Internasional.

"Jika dinaikkan, berapapun harganya, maka akan memicu orang mengambil beras impor masuk ke pasar Indonesia," kata dia kepada ROL, Selasa (10/3).

Pasalnya, HPP yang tingginya di atas harga rata-rata internasional akan mengakibatkan harga yang tinggi di pasaran. Ketika importir beras mengetahui harga beras dalam negeri jauh lebih mahal dari pada beras impor, maka ia lebih memilih mengimpor beras untuk dipasarkan.

Ketika itu terjadi, penyelundupan beras bahkan berpotensi merajalela demi mengejar keuntungan swasta. HPP, lanjut dia, jangan pula diturunkan karena akan menekan petani.

Yang ada, pemerintah harus komitmen mengoptimalkan serta memperkuat peran Bulog, agar dapat menyerap beras petani ketika panen raya tiba. Jangan sampai petani menjual gabah dengan harga murah ke pedagang lain karena ketidakhadiran Bulog.

Dikatakannya, kapasitas gudang Bulog sebesar 8 juta ton beras. Sementara, cadangan beras pemerintah yang ada saat ini sekitar 3 juta ton.

Makanya, paling tidak Bulog seharusnya dapat menampung beras petani sebesar 4-5 juta ton.  "Kapasitas cukup, masalahnya, sebagai Perum, Bulog harus punya dana, di sinilah pemerintah seharusnya memberikan dukungan dana," tuturnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement