REPUBLIKA.CO.ID, ADEN-- Konflik di Yaman mengganggu musim panen tanaman yang berujung kekurangan pangan di negara itu. Hal itu dikatakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) seperti dilansir dari Reuters.
FAO telah bekerja sejak 2014 untuk mendukung petani Yaman tetapi mengatakan hanya 4 juta dolar AS (sekitar 51 triliun) dana yang tersedia. Jumlah itu cukup jauh dana yang diminta sebesar 12 juta dolar AS atau sama dengan 154 triliun untuk program mata pencaharian.
"Situasi memburuk berarti kita perlu melipatgandakan upaya kami untuk memastikan bahwa banyak petani mungkin dapat menanam musim tanam ini dan memperkuat kemampuan mereka untuk menahan goncangan di masa depan," tutur Ould Ahmed, Asisten Direktur Jenderal FAO untuk wilayah Afrika Utara.
Harga makanan di kota pelabuhan barat Hodeidah telah dua kali lipat dan harga bahan bakar telah meningkat empat kali lipat, kata FAO. Dengan kebanyakan orang hidup dari pertanian dan sekitar 90 persen dari sumber daya air yang digunakan dalam pertanian.
Hal itu menyebabkan Yaman sangat rentan kekurangan pasokan pangan ketika terjadi konflik. Pangan Yaman yang sebagian besar gandum, tetapi juga termasuk beras dan jagung. Hingga kini, pangan Yaman yang tersisa mencapai sekitar 860.000 ton sejak awal serangan udara. Menurut Ahmed, Pangan itu diperkirakan cukup untuk tiga sampai empat bulan.
"Kami sangat prihatin dengan fakta bahwa negara ini tidak mampu mempertahankan impor sementara cadangan makanan yang menyusut sebagai konflik berlarut-larut," kata Ould Ahmed.
Sekitar 11 juta dari 26 juta penduduk Yaman diklasifikasikan sangat rawan kekurangan pangan. Sementara 16 juta lainnya membutuhkan beberapa bentuk bantuan kemanusiaan selain pangan serta tidak memiliki akses ke air yang aman, kata FAO.