REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Industri Kima, Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, pembangunan kawasan industri di Teluk Bintuni, Papua Barat harus dipercepat. Pasalnya, pembangunan kawasan industri ini bisa saja mangkrak apabila tidak ada langkah konkret dari pemerintah.
"Kami ingin ada percepatan supaya jangan tenggelam, karena kalau tidak ditekuni sepertinya ini akan tenggelam," ujar Harjanto di Jakarta, Ahad (28/6).
Harjanto mengungkapkan, ada tiga permasalahan yang dipetakan yakni alokasi gas dan harga gas, pembebasan dan pengelolaan lahan, serta penyertaan modal negara. Menurut Harjanto, permasalahan alokasi gas dan harga gas menjadi krusial, pasalnya kawasan industri tersebut akan difokuskan untuk industri pupuk dan petrokimia. Salah satu langkah mencari titik temu harga gas sudah dilakukan penandatanganan MoU antara Pupuk Indonesia dengan British Petroleum Berau, untuk melakukan joint study.
Harga gas domestik saat ini cenderung naik karena lemahnya harga minyak dan tingginya fasilitas produksi. Harjanto mengatakan, biaya komponen peralatan dan eksplorasi gas cukup tinggi sehingga membuat harga gas menjadi mahal.
"Dengan demikian, yang kita pikirkan adalah cara agar bisa intervensi harga gas menjadi 7 dolar AS per MMSCFD, memang biaya eksplorasi tidak kecil namun kami juga sedang pikirkan agar cost recovery bisa ditekan," kata Harjanto.
Terkait dengan pasokan dan penetapan harga gas tersebut, ke depan Kementerian Perindustrian akan terus berkoordinasi dengan kementerian terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Bahkan, Harjanto mengatakan, pihaknya akan rutin menggelar rapat internal sebanyak dua kali dalam sebulan untuk membahas percepatan pembangunan kawasan industri di Teluk Bintuni.
Kemudian, terkait persoalan lahan ada kajian untuk menetapkan kawasan industri tersebut menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN). Saat ini Rencana Detail Tata Ruang sedang disusun oleh Kementerian Perindustrian, yang akan digunakan sebagai dasar peningkatan status kawasan industri tersebut. Sementara itu, pembebasan lahan untuk kawasan industri telah dikoordinasikan dengan bupati Teluk Bintuni dan masih dalam tahap pembahasan. Selanjutnya, akan dilakukan musyawarah adat tentang mekanisme kerjasama pemanfaatan lahan.
Selain itu, terkait dengan penyertaan modal negara Kementerian Perindustrian akan berkoordinasi dengan Kementerian BUMN, terutama untuk konversi lahan dan fasilitas umum. Karena, nantinya Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian akan membeli kawasan tersebut.
"Ini harus ada kejelasan mekanismenya, jangan sampai sudah dibeli ternyata tenant-nya gak ada karena harga gas mahal dan diharapkan semua bisa terintegrasi dengan baik," kata Harjanto.
Kawasan Industri Teluk Bintuni memiliki luas lahan sekitar 2.344 hektar dan memang diperuntukkan bagi pengembangan industri petrokimia dan pupuk, serta menjadi salah satu program pemerintah dalam membangun kawasan industri di Indonesia timur. Selama ini, investasi Pupuk Indonesia dan perusahaan petrokimia asal Jerman, Ferrostaal GmbH di Teluk Bintuni terhambat akibat masalah pasokan gaas bumi. Padahal, diharapkan kawasan industri tersebut bisa menyerap investasi sebesar 10 miliar dolar AS.