REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Hiasan lampu Ramadhan tergantung di gang-gang kota Yerusalem Timur. Sebelum fajar, tabuhan seorang mesaharaty membangunkan para Muslim untuk bersantap sahur.
Seperti di negara Arab lainnya, mesaharaty merupakan tradisi turun menurun selama berabad-abad, di mana seorang mesaharaty berhenti di depan rumah seseorang dan memukul genderang yang dibawanya.
Di kota tua Bab Hotta, terdapat dua orang yang bertugas menjadi mesaharaty, ia adalah Baha Najeeb (27) dan Hussam Ghosheh (26). Gosheh menuturkan lima tahun yang lalu, di sepanjang jalan Jerusalem selalu sepi di saat Ramadhan lantaran pengawasan yang ketat dari para tentara Israel, terutama saat waktu berbuka puasa dan sahur.
"Jadi kami memutuskan menjadi mesaharaty dengan membeli pakaian tradisional dan drum," jelas Ghosheh dikutip dari Anandolu Agency, Senin (6/7).
Selama Ramadhan, sejak pukul 02.30 waktu setempat mereka menabuhkan genderang membangunkan para warga. Mereka melewati setiap rumah dan memastikan semua orang terjaga.
"Salah satu dari kami menabuh drum sementara yang lain menyebut nama-nama dari tetangga kita," jelasnya.
Saat berkeliling mereka juga mengenakan celana tradisional Arab serta rompi border bermotif hitam putih kotak-kotak seperti keffiyeh Palestina. "Selama ratusan tahun, mesaharaty telah mengelilingi jalan-jalan kota ini selama Ramadan mengenakan pakaian seperti ini, kami ingin melestarikan warisan ini," kata Ghosheh.
Saat membangunkan warga, mereka juga memliki jumlah panggilan yang berbeda. Tak lupa mereka juga sambil membangunkan warga, juga diselingi dengan shalawat memuji nama Allah dan Nabi Muhammad.
Mereka pun mengaku tidak dibayar dalam melakukan tradisi tersebut. "Kami melakukannya untuk Allah dan orang-orang Jerusalem," katanya.
Dalam menjalankan tradisinya, seperti warga Palestina di Yerusalem, mereka juga sering dilecehkan bahkan diancam oleh tentara Israel atau warga Yahudi. Bahkan tahun lalu, tentara Israel menembakkan gas air mata dan peluru karet.
"Saya terluka di bagian kaki," kata Najeeb.
Bahkan, sambung Najeeb, para orang Yahudi seringkali membuang sampah kepada mereka saat sedang melewati daerah mereka. Menurut Najeeb, meskipun dihina, ia tetap akan menjalankan tradisi mesaharaty yang merupakan "refleksi sejarah nenek moyangnya.
"Pendudukan Israel ingin menghapus warisan Arab dan Muslim kami," katanya. Tugas kita adalah untuk melawan dan apa yang kita lakukan sebagai mesaharaty adalah bagian dari pertarungan itu," tegasnya.
Ahmed Abu Sneneh (70) salah seorang warga Kota Tua menuturkan tradisi misaharaty sejak ia masih kecil. "Bangun untuk sahur dengan suara Misaharaty mengingatkan saya pada masa lalu," katanya.
Kareema Gaith (85) juga memiliki ingatan yang sama. Dia mengatakan suara yang mesaharaty dan drum yang mengingatkan dia tentang apa kota tua sebelum pendudukan Israel dan sisa dari Yerusalem Timur sebelum tahun 1967.
"Ketika saya berusia enam tahun, kami mengikuti mesaharaty sekitar Kota Tua setiap malam," kenangnya.
"Waktu itu, katanya, ribuan Muslim dari seluruh dunia akan mengunjungi Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa untuk Ramadhan.
Israel menduduki Jerusalem Timur -dan seluruh Tepi Barat selama Perang pada tahun1967. Bahkan pada 1980, Israel mengambil alih kota suci, mengklaim sebagai ibukota negara Yahudi tersebut. Yerusalem Timur adalah rumah bagi Masjid Al-Aqsa bagi umat Islam yang merupakan situs paling suci ketiga di dunia.