REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nahdlatul Ulama (NU) kerap dinilai memanfaatkan posisinya sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sebagai motor dalam politik praktis. Katib Aam PBNU KH Malik Madani menepis hal itu.
“NU itu bukan menghindar terhadap politik, tapi yang dihindari NU adalah politik praktis. Politik praktis dalam arti politik kekuasaan,” kata Malik kepada Republika, Rabu (29/7).
Ia menyatakan, NU tidak terjun ke politik praktis sejak kembali ke khittah tahun 1984. Justru, peran NU berada di tingkat high politics atau politik tingkat tinggi maupun siyasah ‘aliyah samiyah.
Sementara, kata Malik, politik praktis itu politik tingkat rendah, low politics, atau siyasah safilah. NU secara organisasi tidak bermain pada tataran siyasah safilah yang menjadi wilayah parpol. Tapi, atas nama pribadi warga NU boleh bermain pada politik praktis, selama tidak membawa-bawa nama NU.
Ia menguraikan, konkretnya, high politics diimplementasikan misalnya lewat pemberian penyadaran terhadap masyarakat dan bangsa bahwa NKRI ini harga mati.
NKRI merupakan bentuk final dari negara yang diinginkan oleh NU. Malik menambahkan, NU tidak pernah bermimpi tentang sebuah negara Islam, apalagi tentang khilafah.
“Kita berkepentingan untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Karena Pancasila ini yang terbukti menjadi pemersatu bangsa. Peran-peran seperti inilah yang disebut high politics dalam politik kebangsaan,” kata Malik.