REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – DPR dinilai tidak kritis terhadap adanya wacana perpanjangan kontrak PT Freeport. Pasalnya perpanjangan kontrak tersebut adalah masalah prinsip yang harus dituntaskan.
“DPR jangan diam saja, fatal akibatnya kalau hanya diam,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam diskusi bertajuk 'Mengapa Ribut Soal Freeport?' di Jakarta, Sabtu (17/10).
DPR, kata Marwan, memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan. “Perpanjangan kontrak ini selalu jadi barang panas dan selalu menjadi perdebatan,” kata dia. Untuk itu, Freeport perlu pengawasan. Freeport sebaiknya tidak dibiarkan melakukan Initial Public Offering (IPO). “Kalau sudah IPO nanti sulit mengawasinya,” ucapnya.
Dalam beberapa hari ini, wacana perpanjangan kontrak Freeport menjadi pemberitaan hangat setelah disinggung oleh Menteri Kordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli. Ia mengatakan ada pejabat yang sudah setuju atas perpanjangan kontrak Freeport. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan kontrak baru bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Kontrak Freeport akan berakhir pada 2021 sehingga perpanjangan kontrak seyogyanya baru dapat dilakukan pada 2019.
Menanggapi hal tersebut, Marwan mengimbau Presiden Joko Widodo untuk bisa menertibkan menterinya yang membuat ribut soal Freeport. “Supaya jangan ribut di luar. Masalah seperti ini harusnya dibahas di rapat kabinet saja,” ujarnya.
Marwan mengapresiasi keterlibatan tujuh BUMN dalam kegiatan Freeport. Namun di balik itu ada hal lain yang patut digarisbawahi. Dia mempertanyakan, jika saat ini BUMN dilibatkan dalam memasok BBM, bahan peledak, dan lainnya, maka selama ini siapa yang lebih dulu memasok bahan-bahan tersebut. “Ini kan baru masuk. Nah, yang dulu memasok siapa saja. Bisa saja ada KKN,” kata dia.