Senin 02 Nov 2015 17:08 WIB

Muhammadiyah Minta Aturan Impor Direvisi

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nur Aini
Petugas menurunkan sapi impor asal australia di Pelabuhan Tanjung Priok, Rabu (2/9).Republika/Edwin Dwi Putranto
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Petugas menurunkan sapi impor asal australia di Pelabuhan Tanjung Priok, Rabu (2/9).Republika/Edwin Dwi Putranto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah meminta adanya revisi pada aturan mengenai produk impor karena dinilai lebih berpihak pada importir. Aturan tersebut merupakan bagian dari deregulasi dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah. 

Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Nadrattuzaman Hosen mengatakan deregulasi semestinya mendorong akselerasi eksportir untuk tumbuh dan berkembang. Hal itu diantaranya dilakukan dengan pemberian insentif-insentif bagi pelaku usaha berbasis ekspor. Dengan demikian akan berpengaruh besar terhadap keseimbangan  neraca perdagangan nasional. 

Menurutnya, MEK PP Muhammadiyah melakukan kajian terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87 Tahun 2015 tentang Ketentuan Produk Impor Tertentu. Hasil kajian menunjukkan regulasi berpihak kepada importir umum pemegang Angka Pengenal Importir Umum (APU). Pada kebijakan itu, importir cukup memiliki tempat dan gudang sudah bisa langsung berdagang secara langsung di Indonesia. "Itu membuat prosesnya tak membutuhkan banyak penyerapan tenaga kerja," katanya.

Kajian juga dilakukan terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71/M-DAG/PER/9/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528/MPP/KEP/7/2002 tentang ketentuan Impor cengkeh Jelas tidak berpihak kepada para petani. 

Kajian juga dilakukan pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 78/M-DAG/PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/6/2015 tentang Ketentuan Impor Ban. Kebijakan tersebut dinilai akan menggusur perusahaan dalam negeri yang selama ini mengembangkan industri ban nasional yang memiliki kemitraan dengan perkebunan karet di Indonesia.

Berdasarkan pengamatannya, selama ini neraca perdagangan nasional lebih besar impor daripada ekspor. Hal tersebut berdampak terhadap rupiah yang semakin tertekan. Padahal kebijakan Jokowi mengarah agar nilai rupiah bisa stabil. 

Seharusnya Mendag melakukan pemberian insentif ekspor selebar-lebarnya. Sebab, itu akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor. Namun yang terjadi saat ini, deregulasi Kemendag dinilai membuat dunia usaha melakukan pengurangan terhadap penyerapan tenaga kerja. 

Ia khawatir hal itu akan memunculkan kerawanan-kerawanan terhadap masalah sosial. Ia pun mewakili Muhammadiyah meminta agar pemerintah mengevaluasi kembali paket kebijakan ekonomi khususnya deregulasi yang dikeluarkan oleh Mendag.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement