REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedang menelisik seluruh aspek yang berhubungan dengan kontrak karya PT Freeport Indonesia (FI) dan tanggung jawab perusahaan terhadap pemerintah, termasuk pajak dan pengelolaan lingkungan.
Anggota IV BPK Rizal Djalil menjelaskan, pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap PT FI memiliki tujuan utama untuk memberikan bahan pertimbangan pemerintah terkait perpanjangan izin operasi Freeport paska-2021 mendatang.
"Tujuan utama adalah supaya pemerintah dapat gambaran kalau ini (KK) diteruskan bagaimana, kalau tidak diteruskan bagaimana. Terkait kontrak tadi. BPK punya kewajiban untuk itu. Kita bukan audit Freeport loh, kita audit sektor ESDM terkait dengan Freeport," jelas Rizal, Kamis (28/1).
BPK, lanjut Rizal, ingin melihat apakah selama ini Freeport telah menjalankan seluruh kewajibannya kepada pemerintah, serta apakah pemerintah telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengelola sektor pertambangan khususnya dengan Freeport.
"Kita ingin melihat bahwa bagi aman sebenarnya implementasi semua kesepakatan dengan Freeport. Kontrak kita telusuri semua, baik Kontrak Karya dan yang lain. Dan apa yang dilakukan Freeport apakah sudah sesuai dengan kontrak. Semua kita lihat itu," kata dia.
Rizal melanjutkan, sejumlah aspek yang diperiksa nantinya adalah kepatuhan Freeport atas KK dan aturan hukum lainnya, penerimaan negara bukan pajak yang didapat negara, pajak yang disetor Freeport, dan terakhir adalah kewajiban Freeport untuk melakukan divestasi.
"Kemudian kita juga melihat aspek lingkungan. Jadi ada tidak dampak lingkungan dari praktik pertambangan di Freeport. Apakah sudah sesuai dengan standar atau belum," ujar Rizal.
Meski begitu, Rizal menampik bahwa salah satu pemeriksaan juga mengarah pada absennya setoran deviden Freeport tiga tahun belakangan. Ia menilai bahwa keputusan pembayaran deviden adalah murni kebijakan korporasi. BPK, lanjut dia, lebih fokus pada kepatuhan pajak dan PNBP yang didapat negara.