REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz menilai, perlunya pengawasan lebih kepada maskapai milik negara, Garuda Indonesia.
"Meski tahun lalu berhasil mencetak keuntungan dengan nilai yang cukup fantastis, yaitu di atas Rp 1 triliun, dan tercatat sebagai salah satu maskapai bintang lima dunia sejak 2014, PT Garuda Indonesia Tbk belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai badan usaha milik negara dengan kinerja yang memuaskan," ujarnya dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Rabu (2/3).
Ia menilai, sepak terjang direksi BUMN yang baru-baru ini berutang pada tiga BUMN perbankan bernilai triliunan rupiah, perlu diawasi lebih ketat. Apalagi tingkat suku bunganya tergolong komersil yaitu 8,5 persen dan tenornya yang sangat singkat, yaitu 1 tahun.
Ia menambahkan, kinerja keuangan Garuda Indonesia pada tahun lalu memang cukup menggembirakan karena berhasil membukukan laba sebesar 77,97 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,075 triliun (kurs BI 13.795 periode 31 Desember 2015). Namun, laba sebesar itu belum dapat menutupi kerugian Garuda Indonesia sepanjang 2011 hingga 2014 yang total kerugiannya mencapai 229,63 juta dolar AS.
"Pada 2011, PT Garuda Indonesia tercatat merugi sebesar 19,1 juta dolar AS, pada 2012 kembali merugi senilai 10,71 juta dolar AS, pada 2013 merugi lagi sebesar 31,78 juta dolar AS, dan pada 2014 lalu masih merugi senilai 168,04 juta dolar AS," ungkapnya.
Meskipun pada 2015 lalu, Garuda mencetak laba senilai 77,97 juta dollar AS, namun akumulasi kerugian sejak 2011 yang masih belum tertutupi berjumlah sebesar 151,66 juta dollar AS.
"Apalagi kalau diteliti lebih jauh, laba yang dicetak pada 2015 lalu, sebagian besar disumbang oleh anjloknya harga minyak mentah dunia yang juga mendorong rendahnya harga avtur dan pendapatan dari selisih kurs. Pendapatan dari selisih kurs mencapai 15,21 juta dolar AS atau hampir 20 persen dari laba bersih yang dicetak tahun lalu," ungkapnya.
Ia memandang faktor pendukung capaian laba Garuda Indonesia pada 2015 lalu merupakan faktor eksternal yang berada di luar kontrol perusahaan. Kondisi PT Garuda Indonesia masih sangat jauh dari pulih setelah mengalami tahun-tahun panjang penuh kerugian periode 2011-2014.
Oleh karena itu, setiap langkah yang diambil direksi terkait finansial, ia katakan, harus dipantau dan diawasi bersama, karena kondisi Garuda Indonesia saat ini, masih sangat rapuh.
Keberanian Direksi PT Garuda Indonesia untuk menandatangani perjanjian kredit modal kerja dengan tiga BUMN perbankan Indonesia senilai Rp 4,74 triliun, juga ia katakan, harus diawasi dengan lebih ketat.
"Terlebih lagi, pinjaman dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (Rp 2 triliun dan 30 juta dolar AS), PT Bank Mandiri Tbk (Rp 1 triliun), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (100 juta dolar AS) ini diberikan dikenakan bunga 8,5 persen dan tenor hanya 1 tahun," ujar dia.
Ia melanjutkan, pinjaman tersebut mengakibatkan jumlah utang jangka pendek Garuda Indonesia akan semakin melonjak. Utang bank jangka pendek PT Garuda Indonesia juga sudah melonjak sebesar 219 persen dari posisi 75,31 juta dolar AS pada 2014 menjadi 240,8 juta pada 2015. Sementara pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam setahun turun 61 persen menjadi 140,43 juta dolar AS dari tahun sebelumnya 368,94 juta dolar AS.
Total liabilitas jangka pendek PT Garuda Indonesia per akhir 2015 tetap di level 1,19 miliar dolar AS, turun tipis dari 1,21 miliar dolar AS pada 2014. Sementara, ekuitas Garuda Indonesia naik tipis menjadi 950,72 juta dolar AS dari sebelumnya 876,94 juta dolar AS. Adapun, total seluruh aset Garuda Indonesia mencapai 3,31 miliar dolar AS, meningkat 6,43 persen dari aset pada tahun 2014 yaitu 3,11 miliar dolar AS.
Lonjakan utang jangka pendek ini perlu dinilai diwaspadai, apalagi dengan adanya utang jangka pendek baru yang ditandatangani PT Garuda Indonesia dengan ketiga bank BUMN pada 25 Februari lalu.
Ia berpandangan laba yang dicetak Garuda belum lama ini juga disumbang oleh faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol perusahaan. "Kondisi perusahaan ini belum pulih, tapi sudah dibebani lagi dengan utang jangka pendek yang meningkatkan risiko bisnis penerbangan kebanggaan Indonesia ini," ucapnya.
Tugas lembaga legislatif, ia katakan, untuk memastikan pemerintah beserta jajarannya, termasuk BUMN yang berada di bawah naungan Kementerian BUMN, menggunakan anggaran dengan baik dan benar serta melakukan perhitungan risiko bisnis dengan tepat.