REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Timur H Abdul Kadir Makarim menilai para pemimpin negara-negara Islam moderat perlu duduk bersama pemimpin Islam garis keras untuk membahas masa depan bangsa tanpa radikalisme.
"Duduk bersama dalam pertemuan seperti itu sudah merupakan langkah nyata. Dan satu hal yang perlu dibicarakan juga adalah bagaimana para pemimpin moderat tersebut bisa duduk bersama dengan pemimpin-pemimpin Muslim garis keras untuk membicarakan masa depan bangsa ini tanpa radikalisasi," kata Abdul Kadir Makarim di Kupang, Sabtu (2/4).
Dia mengemukakan hal itu ketika dimintai pandangan seputar rencana pertemuan "Internasional Summit of The Moderate Islamic Leader" pada 9-11 Mei 2016 di Jakarta Convention Center (JCC) yang akan dihadiri sekitar 40 kepala negara untuk membicarakan deradikalisasi.
Menurut dia, pertemuan bersama para pemimpin Islam moderat dan Islam garis keras itu penting dilakukan agar ada kesamaan pandangan tentang ajaran Islam."Paling tidak, para pemimpin Islam garis keras ini juga memahami secara benar tentang kebenaran dari ajaran Islam itu sendiri," kata Makarim.
Selain itu, pemahaman agama sempit yang hanya berdasarkan kajian-kajian sempit sesuai pemahaman mereka perlu diluruskan. Dia mengatakan, apabila kelompok-kelompok garis keras ini tidak disadarkan, maka mereka akan tetap merasakan bahwa apa yang mereka buat atau lakukan selama ini sudah benar.
Pandangan senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Nusa Tenggara Timur Jamal Ahmad, yang mengatakan para pemimpin negara-negara Islam moderat harus bersatu dan memiliki kesamaan visi untuk melawan radikalisme.
"Tanpa ada kesamaan visi, usaha melawan radikalisme akan sia-sia, karena kelompok ini sudah memiliki jaringan yang sangat luas dan sudah merasuki sendi-sendi kehidupan umat, dan bahkan sudah masuk dalam jajaran pemerintahan," kata Jamal Ahmad.
Menurut dia, radikalisme harus dilawan secara terorganisir, terintegrasi dan juga harus dilakukan oleh secara terbuka oleh pemerintah."Alasannya, karena banyak tokoh-tokoh penting yang memiliki latar belakang pendidikan di luar negeri sudah masuk dalam jajaran pemerintahan untuk menyebarkan paham radikalisme," ujarnya.