REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Sekali setahun selama sebulan penuh, umat Islam di seluruh dunia menjalankan puasa di bulan suci Ramadhan. Keluarga, kegiatan sosial, ibadah, perenungan dan yang paling penting puasa dilakukan. Puasa sejak matahari terbit hingga terbenam adalah elemen utama bulan suci tersebut.
Bagi Carlos Brokeen, seorang mualaf Maori yang kini berganti nama menjadi Abdulaziz, Islam adalah hal tertinggi di dunia. "Ini puncak, puncak. Beberapa orang tidak mengerti, kau tahu. Ada banyak kesalahpahaman tentan Islam," katanya kepada Aljazirah, Rabu (29/6).
Tetapi, ia melanjutkan, ketika melihat keindahan sebenarnya dan kebenaran tersebut, maka Anda hanya ingin keindahan itu berada di mana pun.
Sayangnya, Ramadhan tidak selalu mudah di negara-negara di mana umat Islam berada dalam minoritas. Jadi, bagaimana umat Islam di dunia Barat menempatkan keyakinan mereka dalam gaya hidup yang begitu berbeda?
Ramadhan baru-baru ini jatuh pada musim panas di belahan bumi utara dan musim dingin di selatan. Puasa pada siang hari di Islandia di mana 24 jam sinar matahari musim panas bersinar kontras dengan hari pendek pada musim dingin di Selandia Baru. Tapi ini menjadi tantangan masing-masing di setiap tempat berbeda bagi komunitas Muslim minoritas dari kedua negara di ujung dunia itu.
Ada hampir 50 ribu Muslim di Selandia Baru sekarang, satu persen dari populasi. Jumlah mualaf Maori juga meningkat. Beberapa mengklaim itu membantu mereka terhubung dengan hakikat warisan mereka.
Abdulaziz, keluarga Maori dan teman-temannya di Hastings, Pulau Sleatan merupakan mualaf yang relatif baru. "Orang-orang melihat saya seperti saya bukan Maori karena pakaian saya," ujarnya sambil menunjukkan salwar kameez (pakaian tradisional di daerah Asia Selatan bagian utara dan Asia Tengah).
Dengan masa lalu yang bermasalah, termasuk kekerasan geng dan penyalahgunaan narkoba, Islam telah membawa dia dan keluarganya ke sebuah awal baru dan kedamaian batin baru, terutama selama bulan Ramadhan.
"Setelah saya menjadi Muslim, itu menjadi wajib bagi saya untuk mencari ilmu. Jadi sekarang saya tahu lebih banyak tentang sejarah saya daripada yang saya lakukan sebelum menjadi Muslim," ujar dia.
Sverrir Ibrahim Agnarsson datang ke Islandia sebagai Muslim pada 1973 dan merupakan Ketua Asosiasi Muslim di Islandia. Jika ia dan rekan-rekan Muslimnya terlalu berpacu pada aturan matahari terbit dan terbenam, mereka mungkin tidak dapat shalat Isya sampai Desember.
"Di tengah-tengah Juni dan Juli kami memiliki 24 jam sinar matahari. Di Reykjavik matahari terbenam tapi tidak pernah gelap," kata Agnarsson.
Otoritas agama di Kairo, Mesir membimbing dan memberitahunya untuk mulai berpuasa di waktu fajar. Tapi mereka berpuasa untuk durasi sama seperti jam puasa di Makkah.
Meski komunitas Muslim dari kota Hastings, Selandia Baru dan ibu kota Reykyavik, Islandia secara harfiah terpisah, jelas Ramadhan adalah waktu yang sangat spritual bagi keduanya.