REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON— Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Indonesia mengabaikan putusan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) terkait kasus 1965-1966.
Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar NU (PBNU), Robikin Emhas, di sela-sela acara Rapat Pleno di Ponpes Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Senin (25/7), mengatakan putusan tersebut tak memiliki kekuatan dan konsekuensi hukum apapun dan tak mengikat kepada negara dan pihak lain.
Tak terkecuali Indonesia, ungkap dia, putusan itu juga tidak mengikat sama sekali. PBNU melihat putusan tersebut bukan hal yang serius. “Itu hanya pengadilan partikelir. Jadi abaiakan saja,” katanya.
Robikin mengingatkan, jangan sampai isu ini justru kembali mengorek luka lama dan mencabik keadilan. Faktanya di lapangan, rekonsiliasi telah berjalan natural dan kultural dari berbagai pihak yang terlibat pada peristiwa 1965.
Islam, ungkap dia, mengajarkan dalam konsep interaksi sesama, derajat tertinggi tak hanya terletak pada kemampuan memaafkan, tetapi juga kelapangan dada untuk melupakan.
Dia khawatir, bila peristiwa ini terus diungkit akan memunculkan saling klaim dan kecurigaan satu sama lain lalu mengancam kedamaian dan ketentraman yang sebetulnya telah terbangun baik. “Bila kedamaian rusak, keadilan bisa terdegradasi,” tuturnya.
Sidang Dewan Rakyat Intenasional (International People’s Tribunal/IPT) mengenai kejadian pasca-tragedi 1965 di Indonesia memutuskan Indonesia bertanggung jawab dan bersalah. Khususnya pihak militer melalui sistem komando.
Laporan keputusan majelis hakim IPT dibacakan oleh Hakim Ketua Zak Yacoob pada Rabu (20/7). Pembacaan putusan terjadi setelah sekitar delapan bulan sejak digelarnya IPT di Den Haag, Belanda, pada November 2015 lalu.
Majelis Hakim IPT lantas merekomendasikan pemerintahan Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban kejadian pasca-tragedi 1965. Kemudian, pemerintah RI agar melakukan investigasi terkait peristiwa tersebut.