Kamis 20 Oct 2016 05:01 WIB

MUI, Politik Identitas, dan Siasat Melemahkan Umat Islam

KH Maruf Amin. Ketua Umum MUI Pusat KH Maruf Amin memberikan sambutan saat Dzikir Nasional 2015 di Masjid At-Tin, Jakarta, Kamis (31/1).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
KH Maruf Amin. Ketua Umum MUI Pusat KH Maruf Amin memberikan sambutan saat Dzikir Nasional 2015 di Masjid At-Tin, Jakarta, Kamis (31/1).

MUI, Politik Identitas, dan Siasat Melemahkan Umat Islam

oleh: DR Iswandi Syahputra, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

 Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa mendapat fitnah, tak lama setelah mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. 

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Komestika (LPPOM) MUI dijadikan sasaran tuduhan korupsi senilai Rp. 480 triliun. Demikian sejumlah media memberitakan.

Serentak dengan itu, di sejumlah saluran media sosial beredar ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI.

Tuduhan sepihak dan ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI tersebut muncul tidak lama berselang setelah MUI mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan terkait pernyataan  Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tentang surat Al-Maidah ayat 51.

Pendapat dan sikap keagamaan MUI itu sendiri keluar tidak lama setelah pihak kepolisian menolak laporan sejumlah Ormas Islam yang menutut agar Ahok diperiksa oleh polisi karena telah menghina  Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Saat itu, polisi menolak laporan Ormas Islam tersebut dengan alasan belum ada fatwa atau pendapat keagamaan dari MUI soal Ahok.

Dari alur peristiwa tersebut, tampaknya ada upaya yang sistematis dan terkoordinasi untuk melemahkan Ulama.

 

Pewaris para Nabi

Ulama itu pewaris para Nabi (Warosatul Anbiya’), demikian diungkap dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw.

Apa yang diwarisi ulama dari Nabi? Sungguh Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi ilmu pengetahuan. Hadist tersebut menegaskan bahwa Ulama adalah orang yang berilmu.

Pada bagian lain Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh”.

Dan, akar kata ulama adalah 'alima artinya mengetahui, alim adalah orang yang berpengetahuan (tunggal) sedangkan Ulama adalah jamak untuk menunjukkan orang-orang yang berpengetahuan.

Nah, hal yang membedakan satu peradaban pada suatu masa dengan masa yang lain adalah ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para alim ulama pada masa tersebut. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan beradab tidaknya suatu masa akan tergantung dari ulama yang hidup pada setiap masa.

Maka dalam tradisi Islam sesudah wafatanya Rasulullah Saw, para  Ulama dapat disebut sebagai benteng peradaban. Dalam konteks ini tentu  yang dimaksud adalah Ulama tentu orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, terutama ilmu yang terkait dengan urusan amal, ibadah dan berbagai pengaturan privat dan publik. Konteks tersebut menjadi lebih relevan dan urgen mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement