REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdul Rohman *)
Dilihat dari aspek bahasa, istilah masyarakat berasal dari akar kata bahasa Arab, yakni syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Kata Koentjaraningrat (1990), bahwa pada praktiknya, kata masyarakat ini, yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia.
Oleh karena itu, masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Mengacu pada definisi ini, menurut Soerjono Soekanto (2001), bahwa secara sosiologis masyarakat itu setidaknya memiliki empat unsur pokok, yaitu: (1) Manusia yang hidup bersama; (2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama; (3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan; dan (4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Jika definisi di atas yang dipakai, maka banyak padanannya dalam Alquran. Menurut Quraish Shihab (1996), bahwa terdapat beberapa kata yang digunakan oleh Alquran untuk menunjuk istilah masyarakat atau kumpulan manusia, antara lain qawm, ummah, syu’ub, dan qabail. Di antara ayat Alquran yang memuat istilah tersebut adalah: Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujuraat [49]:13).
Adapun untuk menunjuk masyarakat yang disatukan oleh agama, maka istilah yang dianggap cocok adalah ummah (umat). Karena umat, menurut Machendrawaty (2001), sering diartikan para penganut atau pengikut suatu agama. Juga secara spesifik Quraish Shihab (2007) menyatakan, bahwa umat dapat diartikan himpunan pengikut Nabi Muhammad SAW, yakni umat Islam, sebagai isyarat bahwa umat dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya: Artinya: “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]:92).
Masyarakat Islam yang ideal sudah pernah terwujud pada masa Rasulullah SAW di Madinah. Mereka mendapat predikat khaeru ummah, masyarakat terbaik atau utama. Gelar ini diperoleh, karena umat Islam pada periode awal di bawah kepemimpinan Nabi saw mampu memadukan keshalehan ritual dengan memperkokoh keimanan di dalam masjid dan keshalehan sosial dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebajikan dan melarang dari kemunkaran) di tengah-tengah masyarakat.
Allah SWT berfirman: Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali-‘Imran [3]:110).
Mengacu kepada ayat di atas, menurut Kuntowijoyo (2001), bahwa ada tiga upaya atau gerakan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang ideal. Pertama, gerakan humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia. Ini tercermin dari gerakan amar ma’ruf, memerintahkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Karena pada hakikatnya, manusia itu sangat mencintai dan menginginkan kebaikan. Maka untuk mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna, manusia harus bisa menanamkan dan mengimplementasikan kebaikan-kebaikan demi kemaslahatan hidupnya.
Kedua, gerakan liberasi, yakni upaya membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kejahatan dan kemunkaran. Derajat manusia dapat terdegrasi ke lembah yang paling hina, karena perbuatan-perbuatan jahat dan maksiatnya. Oleh karena itu, demi mempertahankan derajat kemanusiaannya, manusia harus dapat membebaskan kehidupannya dari berbagai perbuatan jahat dan maksiat yang dapat mengundang kehinaan dan kemurkaan dari Allah SWT.
Ketiga, gerakan transendensi, yakni upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT, melalui ibadah-ibadah yang dilakukan. Untuk memelihara kesempurnaannya sebagai insan kamil, manusia tidak bisa lepas dari melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang diperintahkan. Keimanan bukan hanya tersimpan di dalam hati, tetapi harus dijewantahkan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. Di sinilah pentingnya manusia memperkokoh keimanannya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah kepada Allah SWT.
Mudah-mudahan dengan melakukan ketiga upaya ini secara terus menerus dalam kehidupan, dapat mewujudkan masyarakat Islam yang utama di bumi nusantara. Aamin….Wallaahu A’lam Bish-Shawwab.
*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung