REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Zakat bisa memperkuat ekonomi jika pendayagunaannya juga diperkuat untuk usaha rakyat.
Wakil Ketua Umum BAZNAS Zainulbahar Noor menjelaskan, dari data BAZNAS, 41,27 persen penyaluran zakat untuk bidang sosial dan 15,01 persen pemberdayaan ekonomi. Zainul mengaku ini mengejukan.
Memang, zakat untuk sosial lebih mudah dibanding memberdayakan ekonomi mustahik. Namun, kekhawatiran pemberdayaan ekonomi dari zakat harus dihindarkan sebab, zakat tidak hanya menolong ekonomi mustahik, tapi juga jadi instrumen penyeimbang ekonomi nasional.
Data kemiskinan 2013 dengan menggunakan standar biaya hidup satu dolar AS per hari, didapati ada 28 juta warga miskin di Indonesia. Untuk bisa menaikkan 28 juta jiwa ke level hidup layak dua dolar AS per hari, butuh 56 juta dolar AS atau Rp 784 triliun per hari
Di sisi lain, data pekerja Indonesia pada 2012 menunjukkan ada 110 juta pekerja dimana 97,16 persennya bekerja di UMKM dan tiga persen pekerja korporasi yang notabene bukan perusahaan milik Muslim. Sementara, 28 juta orang miskin pasti berkaitan dengan bekerja dan tidak bekerja.
"Data statistik, jumlah usaha di Indonesia mencapai 57,58 juta dan 99 persennya adalah UMKM. Lalu kemana arah zakat?" ujar Zainul dalam seminar 'Refreksi Pengelolaan Zakat Nasional' di Kampus UI Depok beberapa waktu lalu.
Kalau mayoritas pekerja adalah pekerja UMKM, maka pemberdayaan ekonomi harus dikuatkan. Begitu juga dengan pemberian porsi untuk menyelesaikan utang pengusaha dhuafa.
Jika saat populasi produktif Indonesia sudah mencapai tingkat optimum dan mayoritas mereka tidak bekerja di korporasi, maka harus ada porsi besar zakat bagi pengembangan ekonomi. Sebab, jika tidak seiring peningkatan ekonomi per kapita tidak akan terlalu besar.
Jika potensi zakat Rp 217 triliun per tahun, dengan 547 BAZNAS daerah, maka tiap kabupaten kota mengumpulkan Rp 396,7 miliar per tahun atau Rp 33 miliar per bulan atau Rp 1 juta dana zakat per hari.