Senin 12 Dec 2016 06:28 WIB

Tausyiah Subuh 1212 di Bogor Ulas Keadilan di Zaman Rasul

Rep: Santi Sopia/ Red: Dwi Murdaningsih
Jamaah shalat subuh berjamaah di Masjid Mahabbaturrasul, Villa Bogor Indah, Kota Bogor.
Foto: Santi Sophia
Jamaah shalat subuh berjamaah di Masjid Mahabbaturrasul, Villa Bogor Indah, Kota Bogor.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dr Husnul Hakim memberikan ceramah dan kuliah subuh dalam gerakan subuh berjamaah nasional 1212 di masjid Mahabbaturrasul, Villa Bogor Indah, Kota Bogor. Dalam pandangan Islam, kata dia, seorang saksi maupun hakim dalam kegiatan hukum merupakan ibadah.

Dalam Islam, siapa orang yang menentukan hukum, mengadili suatu perkara tetapi tidak sesuai aturan Allah SWT, maka hakim itu tergolong zalim. Dia menuturkan para ulama terdahulu paling tidak mau diangkat menjadi hakim.

Penceramah mengatakan, percuma apabila seorang hakim yang paham pidana maupun perdata dan juga hadits-hadits Rasul, tetapi masih mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan perkara. Contohnya, mengikuti bisikan atau pesanan tertentu. Tapi akibatnya adalah neraka. Bila sudah menerima suap, laknat Allah baik untuk yang menyogok dan menerima.

"Ada contoh zaman Rasul, hakim diancam penguasa, kalau masih betah jadi hakim, maka amankan dia (tersangka)," kata Husnul, Senin (12/12).

Penceramah menambahkan, seorang hakim tentunya harus hati-hati. Misalnya, tidak menerima tamu dari kedua belah pihak yang tengah bersengketa. "Hakim adil dan benar harus mengusir semua pihak yang sedang bersengketa, kalau sudah memutuskan perkara baru boleh menerima tamu, silaturahmi," jelasnya.

Dia juga mencontohkan tatkala Muadz bin Jabal RA, seorang sahabat yang dikenal mengetahui halal dan haram diminta Rasulullah SAW menjadi seorang hakim.Penceramah mengatakan, Muadz bin Jabal menjadi seorang hakim yang tahu persis tentang kebenaran.

"Sewaktu Muadz bin Jabal jadi Gubernur Yaman, jadi seorang kepala negara pemerintahan, kepala agama dan juga seorang hakim, maka boleh menghukum seseorang," katanya.

Dia juga menyinggung situasi hukum di Indonesia saat ini, di mana seorang hakim mengacu pada kitab Undang-Undang (UU) yang ada. Sementara dalam peradilan Islam, bisa mengacu pada Alquran.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement