REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Abu Hafshin selesai menunaikan ibadah haji, dia segera kembali ke Bagdad. Mendengar berita tersebut, sahabat-sahabat Al-Junaid di Bagdad menyongsong kedatatangannya. “Oleh-oleh apakah yang engkau bawa untuk kami?” Tanya Al-Junaid kepada Abu Hafshin ketika keduanya bertemu.
“Apa yang hendak kukatakan inilah oleh-olehku,”jawab Abu Hafshin.
Lalu ia mengatakan, ”Mungkin sekali di anatar sahabat-sahabat kita ada yang tidak sanggup mengahadapi kehidupan ini seperti seharusnya. Jika tingkah lakunya kepadamu kurang cocok, carilah ke dalam dirimu sebuah alasan untuk memaafkannya, lalu maafkanlah kesalahannya. Bila debu salah paham tidak dapat dihilangkan kaena maaf iru, sedang engkau berada di pihak yang benar, cari pula untuk memaafkannya lalu maafkan perbuatannya.”
Abu Hafshin terus-menerus bertutur, “Apabila debu salah paham tetaap tidak dapat dihilangkan, cari pula alasan lain walau sampai empat puluh kali. Apabila debu itu tidak dapat dihilangkan sedang engkau berada di pihak yang benar, dan keemapt puluh kali itu tidak dapat mengimbangi kesalahan yang telah dilakukannyaterhadap dirimu, duduklah dan berkatalah kepada dirimu sendiri:
Betapa keras kepala dan betapa kelamnya hatimu ini! Betapa kesat hatimu, betapa buruk kelakuanmu, betapa angkuhnya engkau! Saudaramu telah mengajukan empat puluh alasan agar kesalahannya dimaafkan, tetapi engkau tidak dapat menerima alasan-alasan itu dan tetap membencinya. Aku berlepas tangan terhadapmu. Engkau tahu apa yang kauinginkan, berbuatlah sekehendakmu!”
Junaid al-Bagdadi sangat kagum mendengar kata-kata ini, “Tetapi siapakah yang mempunyai kekuatan seperti itu?” Al Junaid bertanya kepada dirinya sendiri.