REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempertanyakan aturan baru yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT).
Anggota BPK Achsanul Qosasih menilai, BUMN secara prinsip harus tunduk pada UU Keuangan Negara dan UU Kekayaan Negara. Achsanul menilai, aturan ini akan bertabrakan dan melanggar aturan lainnya tentang kekayaan negara.
Sesuai ketentuan, semua saham yang masuk dalam kekayaan negara, pengambilalihan ataupun perubahan status kepemilikan harus persetujuan DPR. "Semua pengurangan kekayaan negara harus mendapat persetujuan rakyat (DPR)," ujarnya dalam keterangan persnya, Jumat (13/1).
Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo berpendapat aturan tersebut berbahaya karena saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan ke siapapun tanpa diketahui oleh DPR.
"Jika dilihat kontennya ada dua hal bermasalah. Pertama klausul perubahan kekayaan negara. Dalam PP ini setiap perpindahan aset negara ke BUMN lain atau Perusahaan Swasta, itu tanpa harus persetujuan DPR," kata Agus.
Dalam PP tersebut, tertulis di pasal 22A yang berbunyi, bahwa Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
"Maksudnya, ketika ada perpindahan kepemilikan saham yang dimiliki negara dalam hal ini BUMN ke perusahaan lain ataupun pengalihan saham melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) maka tidak melalui mekanisme APBN. Jadi pengalihan saham melalui PMN bisa dilakukan pemerintah kapan saja tanpa wewenang DPR," kata Agus menambahkan.