Kamis 26 Jan 2017 09:16 WIB

Membangun Relasi

Kaligrafi Allah
Foto: frontpagemag.com
Kaligrafi Allah

Oleh: Fauzul Iman

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kamus bahasa Inggris yang ditulis oleh John Mechols dan Hasan Shadily, relasi adalah kata yang berasal dari relation yang berarti hubungan; hubungan yang terjadi antara sesama manusia atau orang tua dan anak, guru dan murid, dan seterusnya.

Mengacu pada pengertian relasi di atas, berarti relasi merupakan hubungan yang lazim dan wajar terjadi antara setiap umat manusia. Yusuf Musa dalam bukunya, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, dengan lugas menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial (al-insanu madaniyyun bi ath-thabi).

Sebagai makhluk sosial, maka manusia—dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya—satu sama lain saling membutuhkan dan berhubungan. Tanpa saling berhubungan dalam kegiatan, kehidupan, mustahil di dunia ini dapat terwujud sarana, fasilitas, dan lapangan kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk manusia.

Dalam ajaran Islam relasi digambarkan demikan penting dan utuh menyangkut hubungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan ayat Alquran. Manusia akan diliputi kehinaan di mana saja berada, kecuali berpegang teguh dengan talinya Allah dan manusia (QS Ali Imran [3]: 112).

Ayat tersebut menggambarkan pentingnya relasi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhannya. Tanpa mengadakan relasi (hubungan) yang baik antara sesamanya, manusia dalam menjalani kehidupannya akan ditimpa oleh penderitaan dan kehinaan sepanjang masa karena ia akan mengalami kesulitan dalam memperoleh sandang, papan, dan pendidikan. Pendek kata, tanpa membangun relasi maka kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat tidak akan tercapai.

Wahbah Zuhali, seorang mufasir kontemporer, ketika menafsirkan ayat di atas, menjelaskan kata adzillah (kehinaan) sebagai: kehinaan yang menimpa jiwa manusia karena kehilangan pengendalian diri (kontrol); kehinaan itu tampak mencengkeram ibarat paku tajam yang dihunjamkan ke dalam jiwanya.

Betapa pun pentingnya relasi dibangun dalam ajaran Islam, relasi itu bukanlah relasi semu yang mengarah pada kegiatan kolusi yang dilakukan oleh kelompok atau pengusaha tertentu, yang dibangun semata-mata untuk mengembangkan bisnisnya demi mengeruk kepentingan pribadi dari uang rakyat, sementara kaum lemah dibiarkan menderita dan berderai air mata karena kelaparan.

Pada abad global, relasi dengan pihak mana pun merupakan keniscayaan yang tidak mungkin dinafikan. Apakah relasi itu dilakukan dengan Cina komunis, Rusia, taipan, dan dengan jurig sekalipun tetap dihalalkan, sepanjang relasi tersebut diwujudkan untuk kesejahtraan dan maslahat, bukan untuk mencukur dan menggusur hak rakyat.

Bagaimana mungkin relasi negara dengan pihak asing berjalan tanpa rintangan manakala petinggi negara mencabik-cabik regulasi demi suatu ambisi dan materi? Sementara, mereka tak peduli dengan kaum pribumi dan menjual NKRI seharga ikan teri.

Sejatinya relasi negara dibangun oleh para pemimpin yang kredibel dan komitmen membangun negeri demi NKRI sebagai harga mati, bukan oleh para elite yang dengan gampang menyusun regulasi. Sementara, tata kelola di tingkat internal sendiri tampak rapuh dan tidak terkontrol emosi serta kegundahan sosialnya.

Penulis yakin tidak sedikit di negeri ini para pemimpin yang berhati dan bercita mulia membangun negara ke dalam relasi antarnegara demi terwujudnya NKRI yang kuat, harmoni, damai, adil, berkeadaban, dan berkemajuan. Para pemimpin bangsa tentu sadar bahwa bermain-main di dalam mengelola negara, lambat atau cepat, konsekuensi terberat pasti akan ditanggungnya. Negara pun kelak akan berujung di ambang kehancuran. 

Dikisahkan, suatu ketika di zaman Nabi ada seorang pengusaha yang celaka, namanya Uqbah bin Mu'ith. Ia mengundang Rasulullah dalam suatu perhelatan. Undangan itu dibuatnya untuk meminta referensi dari Nabi agar bisnisnya mendapatkan pasaran di kalangan kaum Muslimin. Uqbah pun bersedia masuk Islam. Namun, setelah bisnisnya berjalan lancar, ia mengkhianati Nabi dan kembali murtad bahkan sempat meludahi wajah Nabi.

Bagaimana selanjutnya nasib sang pengusaha itu? Nabi pun kemudian mengecamnya. "Celaka wahai engkau, Uqbah!" Menurut riwayat, ia benar-benar celaka dalam Perang Uhud dan dipenggal lehernya, bahkan ludahnya kembali ke wajahnya dan membakar pipinya. Na'udzubillah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement