Selasa 31 Jan 2017 17:45 WIB

Pengalihan Subsidi Listrik Sumbang Inflasi Januari

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Dwi Murdaningsih
Inflasi, ilustrasi
Foto: Pengertian-Definisi.Blogspot.com
Inflasi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bank Indonesia memproyeksikan tingkat inflasi bulan Januari ini dipengaruhi oleh kebijakan pengalihan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA). Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Juda Agung mengungkapkan, angka inflasi per pekan keempat Januari tercatat 0,69 persen (month to month). Bank Indonesia sendiri memprediksi inflasi Januari 2017 ini akan bertahan di angka 0,7 persen (month to month).

Juda juga menilai bahwa pengaruh oleh tarif listrik akan terus berlanjut hingga semester pertama tahun 2017 ini. Alasannya, pengalihan subsidi listrik golongan 900 VA akan dilakukan bertahap tiga kali, yakni Januari, Maret, dan Mei tahun ini. Artinya, bila tarif listrik secara bertahap mengalami kenaikan maka inflasi pun akan ikut terkerek naik.

Selain tarif listrik, Bank Indonesia juga menyebutkan pengaruh volatile foods tetap akan memengaruhi. Apalagi, di awal tahun harga sejumlah komoditas khususnya cabai rawit merah mengalami kenaikan.

"Tentu saja dampak tarif listrik masih akan terus (pengaruhi). Kenaikannya kan sampai ke harga keekonomiannya kan, itu dilakukan tiga kali. Jadi setiap Januari, setiap Maret, Mei akan seperti itu," ujar Juda, Selasa (31/1).

Sementara itu, dari sisi eksternal Bank Indonesia masih menunggu kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di sisi fiskal dan moneter. Sedangkan, di sisi perdagangan kebijakan Trump yang proteksionis diyakini tidak akan memberikan dampak langsung kepada Indonesia. Namun, justru Indonesia akan merasakan dampak tak langsung melalui Cina.

Juda menambahkan, bila benar produk Cina dibatasi masuk ke AS, maka permintaan bahan baku untuk diproduksi di Cina dari Indonesia akan merosot. Hal ini akan berujung pada penurunan nilai ekspor Indonesia. Hanya saja, Juda menilai penurunan yang bakal terjaid tidak akan terlalu besar. Alasannya, permintaan bahan baku dari Indonesia sebagian besar memang ditujukan untuk pasar dalam negeri Cina. Tak banyak produk olahan yang berasal dari bahan baku Indonesia, yang kemudian diekspor ke AS.

"Karena kita tidak masuk di dalam supply chain Cina, misalnya pembuatan Apple ataupun produk elektronik lain, kita tuh tidak masuk di dalam global value chain Cina," ujar Juda.

Sementara itu, negara-negara lain seperti Singapura dan Malaysia misalnya, banyak memproduksi barang yang kemudian dijual ke AS. "Jadi kalau ada dampaknya masih relatif minimal," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement