REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Dewan ulama senior al-Azhar menolak usulan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi terkait reformasi hukum perceraian. Dewan ulama menolak usulan yang memungkinkan pria menceraikan istri mereka secara lisan. Perceraian tetap harus melalui proses pengadilan.
Sementara itu, konstitusi Mesir menjamin semua pihak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selama ini perempuan masih sangat didiskriminasi dalam ruang sidang dan masyarakat Mesir secara umum.
Dilansir dari Independent, Senin (6/2), di bawah hukum saat ini, laki-laki Muslim dapat menceraikan istri mereka tanpa harus berkonsultasi dengan pengadilan atau ulama. Sementara itu, perempuan Muslim hanya bisa mengajukan perceraian di pengadilan dan dengan persetujuan dari suami mereka, dimana dalam praktiknya persetujuan ini sangat sulit didapatkan.
Ulama al-Azhar juga menyatakan keprihatinannya terkait tingginya angka perceraian di Mesir. Menurut Presiden Mesir, 40 persen pernikahan berakhir dalam lima tahun pertama.
Kelompok-kelompok HAM mencatat hukum status pribadi Mesir sangat diskriminatif terhadap perempuan. Agresi dan kekerasan terhadap perempuan telah dibangun sejak gejolak politik pada masa Presiden Husni Mubarak pada 2011 dan Presiden Mohamed Morsi pada 2013.
Dalam sebuah survei 2013, Thomson Reuters Foundation menyebutkan Mesir sebagai salah satu negara terburuk dari 22 negara-negara Arab yang berkaitan dengan hak-hak perempuan.
Presiden Sisi telah berulang kali menyatakan wacana keagamaan di negaranya harus dimodernisasi untuk melawan ekstremisme. Ia baru-baru ini menginstruksikan otoritas membakukan khtbah Jumat di masjid-masjid di seluruh Mesir. Langkah ini dinilai oleh beberapa pihak sebgai upaya membatasi kebebasan berbicara.