REPUBLIKA.CO.ID, Hiphop atau musik rap sering kali diidentikkan dengan lirik yang sarat kata-kata kasar. Namun, siapa sangka aliran musik inilah yang justru membawa Mohamed Geraldez mengenal keindahan Islam. “Hiphop banyak dipengaruhi Islam,” ujar dia saat berkunjung ke kantor Harian Republika, Selasa (7/2).
Hip hop tak hanya muncul sebagai aliran musik, tapi juga bagian budaya yang mewarnai sejarah Amerika. Popularitas musik ini dimulai ketika pesta-pesta blok mulai dikenal di kota New York, terutama di kalangan para pemuda kulit hitam yang tinggal di Bronx.
Aliran musik ini tumbuh di jalanan sejak awal 1970-an, di tengah lingkungan penuh kekerasan dan penindasan terhadap kaum kulit hitam Amerika. Musik hiphop menjadi ekspresi seni yang agresif, yang berakar dari musik tradisional Afrika.
Pada mulanya, kekasaran gaya dan lirik hiphop seolah mewakili sikap melawan rasialisme dan penindasan. LL Cool J, Run DMC, dan Public Enemy adalah para pelopor tembusnya hiphop ke aliran musik arus utama. Public Enemy mendapatkan tempat khusus di hati para pencinta hiphop dan menjadi spesialis lirik-lirik politik radikal dan terilhami Islam.
Mohamed tumbuh dalam lingkungan seperti itu. Dia mendengarkan dan mencintai musik hiphop tanpa mengenal Islam. Namun, dia mengetahui cerita kehidupan kaum kulit hitam Amerika yang menggugah.
Islam sunni adalah aliran pertama yang dia kenal. Dia mulai mengenal Islam dari interaksi dengan seorang teman kuliah. “Dia sangat keren. Dia memakai sepatu yang keren, sangat fashionable,” ujar dia.
Perkenalan itu membawanya pada obrolan-obrolan ringan tentang musik rap, Malcom X, Ka'bah, hingga Islam. Tak begitu jelas apa yang membuat dia akhirnya menerima Islam sebagai jalan hidupnya. Semakin dia mendalami ajaran agama ini, dia mengaku, menemukan ketenangan yang tak dapat dia gambarkan.
Mohamed menjadi Muslim pertama di keluarganya. Orang tuanya berasal dari Filipina. Dia lahir dan tumbuh di San Diego, California. Ia juga sempat tinggal di Los Angeles.
Tak hanya ketenangan, Islam mengubah hampir seluruh aspek dalam kehidupannya. Kegigihannya menjalani ajaran Islam dan terus memperbaiki diri justru menggugah ibu, ayah, keluarga, dan teman-temannya berpindah agama.
“Allah. Karena Allah. Mungkin mereka telah melihat saya begitu gila sebelum saya masuk Islam,” katanya ketika ditanya mengenai awal ketertarikan keluarga mengikuti jalan yang ditempuh.
Mohamed hanya tersenyum ketika Republika menanyakan seberapa ‘gila’ ia sebelum mengenal Islam. Baginya itu aib yang telah dirahasiakan oleh Allah, sehingga ia enggan membukanya kepada orang lain. Yang jelas, kata dia, Islam telah membawa banyak perubahan dalam dirinya.
Dia bercerita, pada suatu Jumat malam, ia memutuskan tinggal di rumah setelah membaca sebuah hadis agar seorang Muslim merawat dan menjaga keluarganya. Ia masuk ke dapur dan mencuci piring, sementara ibunya sedang menonton televisi.
Ibunya heran melihat hal yang tak biasa ini. Bahkan, ia sempat menghardik sang anak. “Keluar dari sini. Apa yang kau lakukan?” kata dia kepada Mohamed.
Mohamed memang tak terbiasa tinggal di rumah pada Jumat malam. Dia mengatakan, kepada ibunya bahwa ia ingin berubah. Ia mengaku ingin menjadi orang yang lebih baik. Mendengar itu, ibu Mohamed justru merasa putranya semakin aneh.
Dramatis. Begitulah ia menggambarkan periode awal menjadi seorang mualaf. “Ketika seseorang berpindah agama itu dramatis. Semua hal dalam hidupnya berubah,” kata dia.