REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Minimnya prestasi Indonesia di Olimpiade London 2012 tidak sepenuhnya kesalahan para atlet. Kurangnya dukungan, terutama dari pemerintah, membuat prestasi para atlet kita susah beranjak.
Ini terungkap dalam diskusi panel olahraga bertajuk "Menyusun Strategi Pembinaan Olahraga Jangka Panjang Indonesia” di Komite Olahraga Nasional Indonesia, Jakarta, Jumat (10/8) malam. Sejumlah narasumber membicarakan berbagai hal yang muaranya adalah minimnya dukungan, baik itu berbentuk kebijakan maupun dana.
Pengamat olahraga Indrajati Sidi mengatakan, sport science dan teknologi berperan penting dalam prestasi atlet. Ini belum diterapkan di Indonesia, masih sebatas wacana yang sudah muncul sejak lama. “Kita harus menyusun strategi pembinaan olahraga dari hulu ke hilir. Jadi, (pembinaan olahraga) dimulai dari sekolah, klub, hingga pengurus besar (PB),” saran Indrajati.
Narasumber lainnya, Fritz Elliker Simanjuntak, menambahkan, Indonesia membutuhkan sistem pembinaan yang jelas. Menurutnya, mustahil seorang atlet bisa berprestasi tanpa melewati pembinaan dan pelatihan yang memadai. “Atlet sukses dapat medali itu tentu ada ceritanya. Latihan itu harus 10 ribu jam dengan hitungan tiga jam per hari dalam waktu 10 tahun. Jadi, tidak ada keajaiban,” tukas Fritz.
Persoalan uang juga dinilai sebagai faktor penyebab minimnya prestasi olahraga tim Merah Putih. “Persiapan yang sungguh ajaib. Tidak ada uang saku. Harus segera cari lapis dua dan tiga. Atlet enggak tahu bintang, bulan, matahari, tanya cuma habis latihan makan,” ujar Koordinator Cabang Terukur Satlak Prima, Hadi Wihardja.
Pelatih angkat besi Lukman juga mengutarakan unek-uneknya tentang perhatian minim terhadap pelatih. Ia mengatakan, perhatian terhadap peningkatan kemampuan pelatih, khususnya di angkat besi, masih kurang.
Kurangnya perhatian itu, kata Lukman, juga bisa dilihat dari sisi bonus. Ia hanya diberikan bonus Rp 75 juta dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setelah berhasil membuat anak didiknya, Triyatno dan Eko Yuli Irawan, meraih medali perak dan perunggu di Olimpiade London 2012. Padahal, Tri mendapatkan Rp 400 juta dan Eko Rp 200 juta. “Kalau seperti ini terus, jangan salahkan jika akhirnya banyak pelatih berprestasi yang memilih melatih ke luar negeri,” ujar Lukman.
Keluhan Lukman didukung oleh Triyatno. Ia berharap pemerintah dapat memperbaiki besaran bonus untuk pelatih. Menurutnya, kerja keras pelatih sama dengan atlet. “Paling tidak 50 persen dari besaran yang diterima atlet untuk satu medalinya,” kata Triyatno.