REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi menilai Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2017 yang membolehkan perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) mengekspor konsentrat mineral asal berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), menjadi posisi lemah pemerintah.
Sebab, menurut Redi, berdasarkan hukum perdata, hanya ada tiga hal yang membuat KK itu bisa diotak-atik. Yaitu, karena dibatalkan pengadilan, masa KK yang berakhir, dan kesepakatan kedua pihak untuk merubah atau membatalkan.
"Nah ini tidak terjadi, susah. Dalam konteks hukum, merubah KK menjadi IUPK itu punya risiko hukum," ujar dia di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (25/2).
Redi mengatakan, hal itulah yang membuat posisi pemerintah dikatakan lemah, jika kemudian Freeport membawa masalah itu ke Arbitrase Internasional. Kondisi demikian, diakui dia, terkesan pemerintah memaksakan secara sepihak terhadap perubahan KK menjadi IUPK itu.
"Posisi pemerintah ada sisi lemahnya, misalnya merubah KK menjadi IUPK, Freeport boleh ekspor konsentrat asal jadi IUPK. Ini terkesan memang memaksakan sepihak KK," ujar dia.
Namun, Redi khawatir kondisi ketika perusahaan Newmont pada 2014 menggertak mengajukan kasus sengketanya ke Arbitrase Internasional, kembali terjadi. Saat itu pemerintah ketakutan hingga memberikan izin ekspor. Menurut dia, pemerintah tidak perlu khawatir atas hal itu.
"Malah saya berharap sudahlah agar ini diselesaikan di Arbitrase agar tradisi kenakalan Freeport terhadap hukum nasional kita itu bisa diselesaikan dalam konteks peradilan," ungkap dia.
"Posisi kita jelas, negara ini tidak mau takluk dan tunduk terhadap korporasi asing. Kalau kemudian pemerintah kalah di Arbitrase, 2021 potensi nasional kita bisa mengelolanya. Entah holding BUMN, atau menugaskan BUMN," ujar dia.