REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kesepakatan global untuk pertukaran informasi data keuangan (Automatic Exchange of Information/AEoI) guna kepentingan perpajakan akan menyasar nasabah asing pada 2017.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan untuk pembukaan data keuangan secara keseluruhan, baik untuk nasabah asing maupun nasabah domestik, akan terealisasi di 2018, setelah AEoI resmi berlaku.
"Tahap pertama ini nasabah asing. Nanti di 2018 kita harus ubah Undang-Undang terkait Ketententuan Umum Tata Cara Perpajakan dan seluruh UU terkait industri keuangan menyangkut pasal kerahasiaan data)," kata Nelson di Jakarta, Senin (27/2).
Nelson berpendapat industri perbankan semestinya sudah siap, karena pertukaran data keuangan nasabah di tahap awal ini merupakan kebijakan yang mirip dengan model Foreign Account Taxpayer Compliance Act (FACTA) buatan Amerika Serikat, yang diberlakukan kepada warganya di negara lain.
Lihat juga: Mulai April, Petugas Pajak Bisa Mengecek Rekening Bank Wajib Pajak
Dengan penerapan tahap awal AEoI tahun ini, kata Nelson, Indonesia dapat membuka data nasabah asing, tidak hanya untuk Amerika Serikat saja, namun juga nasabah dari negara lain yang menyepakati AEoI. Tercatat ada 101 negara yang menyepakati AEoI, yang merupakan negara-negara OECD dan G-20.
"Jadi kaitannya semua negara dengan keterbukaan seperti ini, tidak berlaku untuk AS saja," kata dia.
Pemerintah sedang menggodok Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk penerapan AEoI ini. Perppu itu akan menggantikan pasal kerahasiaan perbankan pada UU Perbankan, UU Perbankan syariah, UU Pasar Modal, dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Nelson mengatakan pembukaan data nasabah asing untuk kepentingan pajak juga ada di Perppu tersebut. Sedangkan untuk nasabah domestik, kata Nelson, masih menunggu revisi ketentuan di Undang-Undang KUP, dan UU terkait industri keuangan lainnya.
Per Juni 2017, Indonesia harus sudah menerbitkan Perppu tersebut, karena jika terlambat, Indonesia akan dianggap sebagai negara yang non-kooperatif. "Kalau kita tidak siap dengan perangkat hukumnya, kita bisa dianggap negara yang tidak kerja sama," ujarnya.