REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat tersebut adalah sebagaimana disebutkan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab. Beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda:
''Sesungguhnya, pada suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil, lalu beliau ditanya, ''Siapakah orang yang paling berilmu?'' Jawab Nabi Musa, ''Aku.'' Ketika ditanya, ''Adakah orang yang lebih berilmu dari Anda?'' Nabi Musa menjawab, ''Tidak ada.'' Lalu, Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, ''Sesungguhnya, di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.''
Lantas, Nabi Musa pun bertanya, ''Ya Allah, di manakah aku dapat menemuinya?'' Allah pun berfirman, ''Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan dalam keranjang. Sekiranya ikan itu hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.''
Sesungguhnya, teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk menemui hamba yang saleh itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari hamba Allah tersebut.
Nabi Musa kemudian bermaksud menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan dalam wadah dan berangkat bersama-sama muridnya, Yusya bin Nun.
Berangkatlah keduanya hingga akhirnya mereka tiba di sebuah batu (shakhrah) dan memutuskan beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa dalam wadah itu tiba-tiba melompat ke dalam air. Sang murid (Yusya' bin Nun) tertegun memerhatikan kebesaran Allah itu.
Selepas menyaksikan peristiwa tersebut, Yusya' tertidur. Ketika terjaga, ia lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa. Mereka berdua lalu meneruskan perjalanan hingga Nabi Musa berkata kepada Yusya', ''Bawalah ke mari makanan kita. Sesungguhnya, kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.'' (QS al-Kahfi: 62).
Menurut Ibn Abbas, ''Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih untuk melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.'' Yusya' berkata kepada Nabi Musa, ''Tahukah kamu, tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk menceritakannya, kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.'' (QS al-Kahfi: 63).
Nabi Musa segera teringat sesuatu bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya itu. Lalu, keduanya segera kembali menuju tempat hilangnya ikan tersebut. Musa berkata, ''Itulah tempat yang kita cari.'' Lalu, keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula (QS al-Kahfi: 64).
Setibanya di tempat hilangnya ikan tadi, Nabi Musa melihat seorang hamba Allah yang sedang duduk bersimpuh. Lalu, terjadilah perbincangan di antara Musa dan Khidir. Setelah memberi salam, Musa pun memperkenalkan diri. ''Aku Musa,'' paparnya. Khidir bertanya, "Musa pemimpin Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya. Aku datang kepadamu supaya engkau mengajarkanku apa yang engkau ketahui." Khidir menjawab, ''Sesungguhnya, kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (QS al-Kahfi: 67).
"Hai, Musa, aku mempunyai ilmu yang diberikan dari ilmu Allah. Dia mengajariku hal-hal yang tidak engkau ketahui. Engkau pun mempunyai ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang tidak kumiliki." Maka, Musa berkata, "Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun." (Alkahfi: 69). Maka, Khidir berkata kepada Musa, "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu." (QS al-Kahfi: 70).
Selanjutnya, Musa pun akhirnya mengikuti Nabi Khidir. Namun, dari beberapa perbuatan yang dilakukan Nabi Khidir, ternyata Musa tidak bisa berlaku sabar. Misalnya, saat melubangi perahu, membunuh anak kecil, dan membangun dinding rumah tanpa upah. Musa selalu bertanya atas perbuatan Khidir. Hingga, Khidir menyatakan tibalah saatnya perpisahan antara keduanya.
''Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Kelak, akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'' (QS al-Kahfi: 78).
Kemudian, khidir menjelaskan alasan-alasan di balik perbuatannya. Saat ia melubangi perahu, tujuannya agar perahu itu tidak dirampas oleh penguasa setempat karena rajanya hanya akan merampas perahu-perahu yang bagus. Mengenai anak kecil yang dibunuhnya: apabila dewasa nanti, anak tersebut akan membuat kedua orang tuanya menjadi durhaka kepada Allah.
Mengenai dinding rumah yang diperbaikinya, rumah tersebut adalah milik anak yatim piatu yang kedua orang tuanya adalah orang yang taat beribadah. Sementara itu, di bawah dinding rumah yang mau roboh tersebut, terdapat harta peninggalan kedua orang tuanya.