REPUBLIKA.CO.ID, MENES, BANTEN -- Masyarakat Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, masih melestarikan tradisi adu beduk untuk meramaikan bulan suci Ramadhan.
"Tradisi adu beduk itu untuk meramaikan suasana makan sahur," kata Ade Supriadi, mantan kepala desa Cilabanbulan, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Selasa (31/5).
Aksi adu beduk itu sejak ajaran Islam menyebar di Kecamatan Menes Kabupaten Pandeglang. Tradisi adu beduk itu berlangsung selama Ramadhan yang dimulai pukul 01.00 WIB sampai pukul 04.00 WIB.
Mereka adu beduk itu, dengan cara sejumlah masyarakat berkeliling antarkampung untuk membangunkan makan sahur secara tepat waktu. Bunyi pukulan beduk dari kampung ke kampung saling berkumandang sambil membaca shalawat Nabi.
Bahkan, warga Desa Cilabanbulan, Cigandeng, Kananga, dan Kadubonyok, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang dini hari ramai berkeliling dengan suara beduk antarkampung untuk membangunkan warga sahur. "Para penabuh beduk itu berkeliling kampung dan bertemu dengan penabuh dari kampung lain, kami bergabung untuk menabuh beduk dan kentongan itu," katanya.
Menurut dia, tradisi seni adu beduk dilakukan hanya saat bulan puasa yang intinya membangunkan warga untuk makan sahur. Selain itu, tradisi adu beduk selain seni juga melakukan syiar agama Islam di daerah Banten. "Saya kira seni adu beduk di sini sejak saya lahir hingga kini warga masih dilestarikan," ujarnya.
Wawan (45), seorang penabuh beduk dari Desa Cilabanbulan, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, mengaku hingga kini warganya masih melestarikan tradisi adu beduk antarkampung itu.
Bedug yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi dan kentongan dari bambu jika ditabuh menghasilkan suara dengan irama yang indah. "Kami sangat senang jika bulan puasa menabuh beduk dan kentongan, karena suasana kampung menjadi ramai," katanya.