REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memproyeksikan imbas perbaikan peringkat utang Indonesia belum bisa dirasakan dalam waktu dekat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, sebagian besar investor di dunia menganut aturan bahwa dana investasi hanya bisa mengalir ke negara-negara yang sudah memiliki opini investment grade dari tiga lembaga pemeringkat besar dunia, yakni Fitch Ratings, Moody's, dan Standard and Poor's (S&P).
Negara-negara seperti Jepang dan Eropa, lanjut Darmin, sangat berhati-hati dalam menanamkan investasinya di surat berharga terutama bila menggunakan dana pensiun. Ia mengungkapkan, selama ini bila ada investor atau pengelola investasi yang memilih berinvestasi di Indonesia lebih karena keberanian dalam berspekulasi saja.
"Nah, jadi kenapa perlu waktu, ya itu tadi, orang konservatif itu bukan hanya mau kejar untung begitu saja. Pension fund itu adalah pengumpul dana jangka panjang yang dia sudah tau biaya dia sampai dengan 15-20 tahun ke depan," jelas Darmin di Kemenko Perekonomian, Rabu (7/6).
Artinya, lanjut Darmin, pengambilan dan penyampaian investasi dilakukan secara bertahap. Investor dalam hal ini lebih memilih agar investasi mereka stabil.
Darmin juga menyebutkan, pemerintah saat ini sedang membereskan tata niaga di pelabuhan. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah dengan menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) ke-15 yang juga menyinggung soal insentif di sektor logistik. Pemerintah menargetkan, perbaikan tata niaga pelabuhan bisa rampung dalam kurun waktu tiga bulan mendatang.
Indonesia berpeluang untuk mangakses dana investasi (investment fund) sebesar 700 miliar dolar AS. Hal ini setelah lembaga pemeringkat internasional, Standard & Poor's (S&P), memperbaiki rating utang Indonesia dari BB+ ke BBB- memberi peluang Indonesia untuk menawarkan surat berharganya.
S&P juga menaikkan opininya atas Indonesia menjadi 'layak investasi'. Perbaikan rating yang diberikan S&P ini sekaligus melengkapi perbaikan rating yang sebelumnya diberikan oleh Fitch dan Moody's.