REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan mengakui adanya tren penurunan rasio kredit bermasalah atau NPL. Kondisi ini dipengaruhi kinerja perseroan hingga peningkatan permintaan.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk Haru Koesmahargyo menyebutkan ada beberapa alasan penyebab menurunnya rasio kredit bermasalah (Nonperforming Loan/NPL). Hal itu menanggapi pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebutkan tren NPL pada semester II 2017 menurun.
"Penyebabnya bisa karena ekspansi. Bisa juga karena meningkatnya permintaan," ujar Haru kepada Republika.co.id, Ahad (9/7). Menurutnya, pertumbuhan kredit pada kuartal dua tahun ini akan lebih baik daripada kuartal pertama. "Itu memang siklus tahun, di mana pertumbuhan kredit kuartal kedua lebih tinggi," tuturnya.
Ia menambahkan, NPL BRI pada Mei berada di posisi 2,24 persen. Sedangkan, angka pertumbuhan kredit per Mei, kata Wakil Direktur BRI Sunarso, belum bisa disebutkan.
Direktur Bank Central Asia (BCA) Santoso Liem pun menilai, penurunan NPL didorong oleh restrukturisasi kredit bermasalah. "Beberapa kredit bermasalah sudah mulai dilakukan restrukturisasi oleh bank di kuartal kuartal dua," ujarnya.
Menurutnya, pada kuartal dua 2017, pertumbuhan kredit juga mulai meningkat. "Kalau kita lihat memang di kuartal dua mulai terjadi kenaikan untuk outstanding kredit," tutur Santoso.
Corporate Secretary BCA Jan Hendra menambahkan, pertumbuhan kredit BCA sekitar 9 persen per Mei 2017. Angka tersebut sesuai dengan target pertumbuhan kredit perseroan tahun ini yang berkisar antara 9-10 persen.
"NPL kami juga terjaga baik, serta memiliki coverage yang cukup. Sebentar lagi kami akan umumkan hasil kinerja semester pertama tahun ini," ujar Jan. Sebelumnya pada kuartal pertama 2017, kredit BCA tumbuh 9,4 persen atau sudah tersalurkan sebanyak Rp 409 triliun. Dengan posisi NPL di level 1,5 persen.