REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tradisi masyarakat Indonesia, kegiatan haul sering digelar. Dalam praktiknya, haul merupakan momentum untuk mengenang seorang tokoh, terutama para ulama yang telah wafat. Lalu, apa hakikat makna haul?
Mengutip buku Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam karya KH Hanif Muslih, secara etimologi makna haul berarti satu tahun. Penggunaan haul dalam istilah bermakna peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya tokoh masyarakat. Mereka adalah alim ulama yang sekaligus pejuang. Kontribusi mereka bagi masyarakat membuat sosok yang selalu diingat sepanjang masa.
Haul bertujuan untuk mengenang jasa orang yang sudah tiada. Seperti, peringatan haul yang belum lama ini digelar untuk mengenang almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Pondok Pesantren Ciganjur, Yayasan Wahid Hasyim, Jalan Warungsila Nomor 10, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12) malam.
Haul kali ini juga dihadiri sejumlah kiai, tokoh, dan teman dekat Gus Dur. Para peserta juga datang dari sejumlah pesantren, majelis taklim, dan kalangan umum dari hampir seluruh wilayah di Indonesia. Banyaknya jamaah itu membuat lalu lintas kawasan sekitar Jagakarsa terhambat.
Sebagai dampak dari penyelenggaraan acara tersebut, sepanjang Jalan Warungsila, mulai dari Jalan Moh Kahfi, lalu lintas diberlakukan satu arah. Adapun para pejabat yang tampak sudah menghadiri haul ke-4 Gus Dur, antara lain, Kapolri (Jend) Sutarman, Akbar Tanjung, mantan ketua umum PBNU Hasyim Muzadi, para duta besar dari negara sahabat, dan ulama.
Haul untuk memperingati tokoh besar, seperti haul Syekh Nawawi al-Bantani. Tiap tahun, acara yang berlangsung di Pondok Pesantren an-Nawawi Tanara, Kabupaten Serang tersebut, dipadati ribuan peziarah. Peringatan hari wafatnya (haul) ulama besar asal Banten yang lahir di Tanara, Serang, 1230 H atau 1813 Masehi tersebut dirangkai dengan beragam kegiatan sebelumnya, seperti pembacaan riwayat hidup sang tokoh.
Pimpinan Pesantren an-Nawawi KH Ma’ruf Amin mengatakan, Syekh Muhamad Nawawi al-Bantani yang wafat pada 1314 H atau 1897 H di Makkah memiliki semangat yang luar biasa besar untuk mempelajari agama Islam walaupun di Indonesia pada waktu tersebut di bawah penjajahan Belanda sehingga sulit bagi seseorang untuk menempuh pendidikan tinggi.
Pada usia 15 tahun, tokoh yang mengarang ratusan kitab tersebut mendapat kesempatan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sana, ia memanfaatkan kepergian untuk mempelajari ilmu-ilmu agama Islam di pusat tumbuhnya agama Islam.
Ma’ruf mengatakan, karena penguasaan ilmu agama yang mendalam dan kepribadian yang santun dan rendah hati, pada 1860 Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Haram Makkah. Ia dikenal dengan nama lengkap Syekh Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali al-jawi al-Bantani. “Kitabnya menjadi rujukan di seantero dunia,” ujarnya yang juga koordinator harian MUI ini.
Selain itu, ada pula peringatan haul wali songo, habib, serta sejumlah masyayikh dan kyai. Mereka semua berjasa bagi perjuangan Islam dan Indonesia. Rangkaian kegiatan haul, antara lain, ziarah ke makam sang tokoh. Pelaksanaan zikir, tahlil, kalimat-kalimat baik, pembacaan Alquran, lalu disusul dengan doa bersama. Tak jarang pula, penyelenggara menggelar taklim atau ceramah agama di sela-sela acara.
Haul merupakan salah satu upaya mengingat kematian. Selama tidak disertai dengan kemusyrikan maka hukumnya boleh. Hadis riwayat al-Waqidi dalam Nahj al-Balaghah menyebutkan Rasulullah SAW suatu ketika berziarah ke makam syuhada Uhud.
Sesampainya di Lereng Gunung Uhud, Rasul mengucapkan dengan keras, “Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kalian berkat kesabaran kalian maka alangkah baiknya tempat kesudahan.” Kemudian, Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan melakukan hal sama.
Haul juga bentuk dari ziarah kubur yang dianjurkan. Intinya adalah mengingat kematian. Semakin mengingat kematian, semakin membuat seseorang maksimal berbuat kebaikan. Oleh sebabnya, kebaikan tersebut akan menjadi bekal bagi hidup di akhirat nanti.