Rabu 01 Nov 2017 06:03 WIB

Ini yang Harus Diurus Ketika Seseorang Meninggal

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Harta warisan (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Harta warisan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Utang piutang adalah muamalah yang dibenarkan dalam syariat Islam dan wajib untuk dibayar. Sebab, jika tidak dilunasi maka akan dituntut sampai hari kiamat. Dari Abu Hurairah ra bahwa nabi bersabda, “Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai hutang dilunasi." (HR. Ahmad).

Seorang yang meninggal dunia, maka yang pertama kali diurus adalah membayarkan hutang-hutangnya meskipun itu menghabiskan seluruh hartanya dan tidak meninggalkan warisan, seperti kisah salah satu sahabat ra. Dikutip dari buku “Para Penggenggam Surga” karya Syaikh Muhammad Ahmad Isa, suatu ketika Zubair ra ikut berjuang dalam Perang Unta, maka sebelum berangkat, ia berwasiat kepada anaknya, Abdullah ibn Zubair ra.

Diriwayatkan dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya yang menceritakan bahwa Ibnu Zubair berkata pada anaknya Abdullah ibn Zubair ra ketika tiba Perang Unta, “Anakku, seorang awam tidak akan terbunuh, kecuali oleh orang zalim atau sebagai orang yang terzalimi. Sesungguhnya pada hari ini, aku melihat diriku terbunuh sebagai orang yang terzalimi. Dan yang menjadi perhatianku adalah urusan hutangku. Apakah engkau kira harta kita dapat melunasinya? Anakku, jual seluruh harta kita, lunasi hutangku. Jika masih tersisa harta kita setelah membayar hutang, kuberikan sepertinganya untuk anakmu.”

Hisyam juga mengatakan, bahwa sebagian anak Abdullah berhubungan dengan Bani Zubair, Khubaib, dan Ubbad. Saat itu, dia memiliki 9 anak perempuan dan 9 anak laki-laki.

Ketika Abdullah bin Zubair ra menghitung seluruh hutang ayahnya, ternyata semuanya berjumlah 2.200.000 dirham. Padahal, dia memiliki hutang karena terkenal dengan sifat amanahnya. Banyak orang menitipkan amanah kepada Zubair ra, tetapi dia selalu berkata kepada orang yang menitipkannya, “Aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan harta. Jika kalian memerlukannya, maka ambilah dariku.” Kemudian uang itu dia gunakan untuk bersedekah kepada fakir miskin.

Abdullah ibn Zubair bercerita mengenai wasiat ayahnya untuk melunasi hutang-hutangnya, “Anakku, kalau engkau tidak sanggup membayarnya hendaklah meminta bantuan Tuanku.”

Karena Abdullah ibn Zubair ra merasa tidak paham, maka dia bertanya, “Siapakah tuanmu ayah?” Beliau menjawab, “Allah Azza wa Jalla.”

Maka, setiap kali dirinya berada dalam kesusahan Abdullah akan berkata, “Wahai Tuannya Zubair, lunaskanlah hutangnya.” Dan hutangnya pun lunas.

Zubair tidak meninggalkan uang sepeser pun. Dia hanya meninggalkan sebidang tanah di Ghabab, satu rumah di Madinah, dan satu rumah di Mesir. Kemudian Hakim ibn Hizam Al-Asadi mendatangi Abdullah ibn Zubair dan berkata, “Wahai anak saudaraku, berapa hutang yang ditinggalkan saudaraku?”

“Seratus ribu dirham,” jawab Abdullah.

“Aku lihat harta kalian sangat pas untuk melunasi jumlah hutang tersebut,” jawab hakim.

“Lalu bagaimana menurutmu jika jumlah hutang tersebut 2.200.000 dirham?’ tanya Abdullah.

“Aku lihat kalian tidak dapat melunasinya. Jika kalian tidak mampu, kalian dapat meminta pertologanku,” jawab Hakim.

Ternyata, Zubair pernah membeli sebidang tanah di Ghabah seharga 170.000 dirham. Abdullah menjual tanah tersebut seharga 1.600.000 dirham. Kemudian dia berseru, “Barang siapa memberikan pinjaman kepada Zubair dapat mendatangi kami di Ghabah.”

Kemudian Abdullah ibn Ja’far datang karena Zubair memiliki utang kepadanya sebesar 400.000 dirham. Dia berkata kepada Abdullah, “Jika kalian mau, aku relakan utangku atas diri kalian.”

“Tidak,” jawab Ibnu Zubair.

Abdullah ibn Ja’far berkata, “Jika demikian adanya, jual kepadaku bagian dari tanah ini.”

“Milikmu dari sini hingga sini,” jawab Abdullah.

Demikianlah Abdullah ibn Ja’far membeli tanah tersebut dengan penebusan utangnya, yang tersisa dari tanah tersebut adalah empat setengah bagian.

Mundzir ibn Zubair berkata, “Aku membeli satu bagian dengan harga 100.000 dirham.”

Amr ibn Utsman berkata, “Aku membeli satu bagian dengan harga 100.000 dirham.”

Ibnu Rabi’ah juga berkata, “Aku membeli satu bagian dengan harga 100.000 dirham.”

Mu’awiyah kemudian berkata, “Berapa yang tersisa?”

“Satu setengah bagian,” jawab Abdullah ibn Zubair.

Mu’awiyah membelinya dengan harga 150.000 dirham. Lalu, Ibnu Ja’far menjual bagiannya kepada Mu’awiyah sehingga 600.000.

Ketika Ibnu Zubair melunasi utang ayahnya, anak-anak Zubair yang lain berkata, “Bagikanlah bagian warisan ayah kami.”

“Tidak,” Tolak Abdullah.

Dirinya menunggu selama empat musim haji karena ditakutkan hutang ayahnya belum lunas seluruhnya. Demikianlah dia melakukan itu selama empat musim haji dan baru membagi wairsan ayahnya, pada tahun kelima.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement