REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zat Warna Dalam bukunya berjudul, Keahlian Menulis dan Peralatan Orang-orang Arif, Ibnu Badis juga mengungkapkan keberhasilan umat Islam dalam memproduksi tinta berwarna, cat minyak, dan pernis.
Zat warna seperti ini digunakan dengan pena atau sikat dan digunakan untuk menulis, melukis miniatur pada kertas, kulit, kayu, dan permukaan-permukaan lain. Ibnu Badis, seperti dikutip Al-Hassan dan Hill, memaparkan, pewarna hitam berasal dari karbon yang diperoleh dari jelaga lampu atau arang khusus seperti yang di terangkan sebelumnya. ‘’Pewarna putih dihasilkan dari timah (isfidaj), bahkan terkadang dicampur dengan putih tulang,’‘ paparnya.
Lalu bagaimana dengan pewarna merah? Menurut Al-Hassan dan Hill, pewarna me rah yang ditemukan dunia Islam terdapat dalam berbagai nuansa. Unsur pokoknya adalah cinabar (zanifar), kristal merkuri sulfida dan timah merah (isribj) terkadang juga digunakan lempung batu besi yang mengandung lapisan merah.
Lac, resin berwarna merah gelap yang ditanamkan ke batang pohon tertentu oleh serangga lac (laccifer lacca), juga diproses untuk pewarna ini dan petunjuk rinci pembuatannya banyak dipublikasikan. Sementara itu, pewarna kuning diproduksi terutama dari orpiment (zarnikh ashfa) arsenik trisulfida. Menurut naskah Arab, massicot (timah monoksida) sebagaimana saffron bisa digunakan bersama zat warna lain.
Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology:An Ilustrated History, mengungkapkan, pewarna biru didapat dari mineral lapis-lazuli. Selain itu, azurit (suatu bentuk tembaga karbonat) dan indigo juga digunakan sebagai pewarna biru. Pewarna hijau diperoleh dari verdigris tembaga karbonat basa (zinjar) dan dari mineral malasit.
Untuk nuansa hijau yang lain, termasuk warna tanaman, dibuat dengan mencampur berbagai zat warna. Untuk zat warna cair, kata Al-Hassan dan Hill, dibutuhkan media pengikat yang biasanya dicampurkan dengan zat warna. Pengikat yang paling umum adalah goam Arab. Selain itu, juga digunakan pula pere - kat (terutama perekat kayu/besi) dan glair.
Pada masa itu, cat minyak digunakan untuk menggambar miniatur di buku-buku dan untuk melapisi suatu permukaan seperti kayu. Sebuah manuskrip abad ke-16 M mencatat proses pembuatan cat dan teknik pemakaiannya. Untuk membuat cat minyak, dibutuhkan campuran larutan gom resin sandarak dengan minyak biji rami, kemudian ditambahkan zat warna bersama sulingan nafta.
Semua bahan-bahan itu dicampurkan dan dilarutkan dengan cara dikocok. Selain itu, peradaban Islam juga tercatat berhasil menciptakan pernis. Larutan ini diproduksi untuk melindungi lukisan. Pernis dibuat dengan cara menambahkan pelarut nafta (minyak tahan putih) ke dalam campuran kental sandarak dan minyak biji rami. Larutan itu kemudian di laburkan ke permukaan yang ingin dilindungi. Begitulah, peradaban Islam memproduksi tinta dan zat warna yang penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni rupa.