REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR Bambang Haryo menilai penjualan dan tata kelola aset badan usaha milik negara (BUMN) perlu melalui mekanisme izin dan sepengetahuan DPR. Ia menilai, BUMN yang merupakan komponen negara dan bermodal dari hasil pajak negara yang bersumber dari masyarakat perlu terbuka kepada publik dan DPR.
Bambang menjelaskan meski nantinya berbentuk holding, skema pengawasan dan keterlibatan DPR dalam tata kelola BUMN tetap diperlukan. Hal ini untuk memastikan bahwa aset aset yang dimiliki oleh BUMN yang bersumber dari uang rakyat masih bisa diawasi dengan baik.
"Di dalam PP 72 Tahun 2016 itu dikatakan bahwa perubahan daripada aset ataupun penambahan kekayaan pemindahan dan sebagainya, itu tidak perlu melalui mekanisme pelaporan kepada DPR. Padahal BUMN kan perusahaan negara yang tentu semua perubahan daripada aset, ataupun penjualan saham dan lain-lain itu harus sepengetahuan atau seizin masyarakat yang diwakili oleh DPR," ujar Bambang, Kamis (23/11).
Bambang tak menampik bahwa rencana holding memang bertujuan untuk membuat entitas negara menjadi lebih besar. Apalagi kedepan BUMN BUMN harus bisa bersaing di kancah internasional.
Namun, meski begitu, fungsi pengawasan DPR dan keterbukaan kepada masyarakat tak bisa dihapuskan begitu saja dari BUMN selama BUMN masih bermodalkan dari APBN dan uang masyarakat. Berangkat dari hal itu, tegas Bambang, pemerintah harus menghentikan rencana holdingisasi BUMN sebelum PP 72/2016 direvisi.
"Kalau itu dijalankan terus holding tadi sebenarnya manfaatnya apa? Ini belum dijelaskan kepada masyarakat atau yang diwakili oleh DPR," ujar Bambang.
Ia menambahkan, pemerintah harus seksama dan tertib di dalam penerapan administrasi khususnya perihal penggunaan landasan hukum. "Sesuai dengan UU 17/2003 dan UU 1/2004, itu adalah seperti itu. Lapor ke DPR. Jadi kalau tetap dilanjutkan maka menyalahi undang-undang. Jadi ini menyalahi konstitusi," kata Bambang menambahkan.