REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (bankjatim) membukukan laba bersih yang sudah diaudit pada 2017 mencapai Rp 1,15 triliun atau tumbuh 12,76 persen (yoy) dibandingkan laba 2016 yang sebesar Rp 1,02 triliun. Perolehan laba tersebut ditopang oleh kenaikan pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII) sebesar 1,14 persen.
NII pada 2017 tercatat sebesar Rp 3,51 triliun, meningkat dibandingkan posisi 2016 yang sebesar Rp 3,46 triliun. Direktur Utama Bank Jatim, Soeroso, mengatakan kinerja Bank Jatim pada akhir tahun 2017 cukup bagus.
Berdasarkan laporan keuangan tahun buku 2017 yang sudah diaudit, aset Bank Jatim tercatat Rp 51,52 triliun atau tumbuh 19,72 persen dibandingkan posisi 2016 yang sebesar Rp 43,03 triliun. "Laba kotor kami sebesar Rp 1,6 triliun, sedangkan laba bersih Rp 1,15 triliun, naik 12,76 persen (yoy) di atas laba perbankan nasional yang tumbuh 9,8 persen," kata Soeroso dalam konferensi pers di Hotel Ritz Carlton Pasific Place, Jakarta, Senin (15/01).
Dia menjelaskan, perolehan laba tersebut juga didorong oleh upaya perusahaan dalam melakukan efisiensi. Sehingga rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional atau BOPO turun menjadi 68,63 persen dari sebelumnya sebesar 72,22 persen pada 2016. Menurutnya, hal itu menunjukkan pertumbuhan Bank Jatim yang lebih efisien pada 2017.
Selain itu, margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) Bank Jatim juga tercatat tinggi di angka 6,68 persen. Soeroso mengklaim tingginya NIM tersebut bukan karena bunga. Sebab, bunga kredit justru turun.
Strateginya, Bank Jatim memberikan kredit ke industri primer sektor pengolahan produktif dengan bunga 6-8 persen. Namun, jika menyalurkan kredit lewat LKM atau BPR milik Pemprov Jatim diberikan bunga 4 persen. Hal itu menyebabkan perputaran dana menjadi cepat dan menguatkan rasio NIM perusahaan.
Selama 2017 Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Jatim mencatatkan pertumbuhan Rp 21,48 persen (yoy) sebesar Rp 39,84 triliun dibandingkan 2016 yang sebesar Rp 32,79 triliun. Pertumbuhan DPK tersebut ditopang oleh pertumbuhan deposito sebesar 67,83 persen dari Rp 7,14 triliun pada 2016 menjadi Rp 11,99 triliun pada 2017. Sementara giro dan tabungan masing-masing tumbuh sebesar 6,31 persen (yoy) dan 10,34 persen (yoy). Pencapaian DPK tersebut diperkuat dengan rasio CASA sebesar 69,89 persen.
"DPK perbankan nasional tumbuh sekitar 10,6 persen. Kita masih di atasnya. Ini tentunya didukung oleh pertumbuhan deposito. Meskipun deposito naik tapi beban bunga turun 3,63 persen dibandingkan 2017. Justru cost of fund-nya turun," jelas Soeroso.
Bank Jatim mampu mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar Rp 31,75 triliun atau tumbuh 7,01 persen (yoy) dibandingkan 2016 yanh sebesar Rp 29,67 triliun. Kredit di sektor konsumsi menjadi penyumbang tertinggi selama 2017 yakni sebesar Rp 22,29 triliun atau tumbuh 12,42 persen (yoy) dibandingkan 2016 yang sebesar Rp 19,8 triliun. Porsi kredit konsumsi mencapai 58,04 persen dari total kredit di Bank Jatim.
Direktur Keuangan Bank Jatim, Ferdian Timur Satyagraha, menambahkan, turunnya BOPO merupakan kontribusi dari jaringan kantir dan CKPN. Jaringan kantor ke depan lebih ke agen-agen lakupandai.
CKPN atau PPAP tahun 2017 dicadangkan hanya Rp 217 miliar. Sedangkan 2016 dibentuk sebesar Rp 510 miliar. Artinya turun 50 persen sehingga perbaikan NPL Bank Jatim lebih baik. "NPL kredit cenderung membaik sehingga pembentukan CKPN tidak terlalu besar," ujarnya.
Pada awal tahun 2017, untuk pertama kali Bank Jatim membuka cabang operasional di luar Jawa tepatnya di pulau Batam. Batam dinilai mampu menjadi ladang Bank Jatim dalam memberikan pelayanan dan kepuasan bertransaksi khususnya bagi pengusaha dan pedagang yang memiliki perdagangan antar pulau khususnya dengan Jawa Timur. Di tahun yang sama, Bank Jatim menggandeng beberapa perusahaan asuransi di Indonesia dengan meluncurkan produk bancassurance.
Untuk mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia, Bank Jatim turut mempromosikan uang elektronik (electronic money) melalui Flazz bankjatim, hasil bundling produk dengan BCA.