REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai sumber hukum Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Menurut Syekh ‘Abdul Ghoffar ar-Rahmani dalam Pengantar Tadwin (Pengumpulan) Hadits, proses panjang penjagaan dan pemeliharaan hadis berlangsung melalui tiga cara. Yaitu, umat yang mengamalkan hadis tersebut, hafalan (hifzun) dan tulisan (kitabah), serta periwayatan dan pengajaran.
Dengan metode-metode tersebut, pengumpulan, pengklasifikasian, tabwib (penyusunan formasi), dan penulisan hadis dibagi menjadi empat periode, yakni:
Periode Pertama
Periode pertama berlangsung selama rentang hidup Nabi Muhammad SAW hingga sepanjang abad pertama Hijriah. Pada masa ini, Rasulullah hidup, bergaul dan berbicara dengan masyarakat dan para sahabat, baik di masjid, rumah, pasar, maupun saat berjumpa dengan musafir. Apa yang disampaikan oleh Nabi SAW senantiasaa diperhatikan secara saksama oleh para sahabat yang menjadi periwayat hadis kendati masih berupa hafalan. Beberapa penghafal hadis terkenal pada periode ini adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Abbas, Aisyah ash-Shiddiqah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, dan lain-lain.
Periode Kedua
Periode ini dimulai sekitar pertengahan abad kedua Hijriah. Selama periode ini, sejumlah besar tabi’in menghimpun karya mereka dalam bentuk buku. Beberapa penghimpun hadis pada periode ini adalah Muhammad bin Syihab az-Zuhri (ia dianggap sebagai ulama hadis terbesar di zamannya), Abdul Malik bin Juraij, Mu’ammar bin Rasyid, Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Hammad bin Salamah, Abdullah bin al- Mubarak, dan Malik bin Anas (w. 179 H). Di antara karya tulis pada periode ini adalah Al- Muwaththa’ karya Imam Malik.
Periode Ketiga
Dimulai pada abad ke-2 H hingga akhir abad ke-4 H, ketika hadis-hadis Nabi, atsar sahabat, dan aqwal (ucapan) tabi’in dikategorisasikan, dipisahkan, dan dibedakan. Selain itu, riwayat-riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku-buku dari periode kedua diperiksa kembali untuk diautentifikasi.
Pada periode ini pula, hadis-hadis dipelihara dan dijaga. Hal itu diwujudkan para ulama dengan memformulasikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis (lebih dari 100 ilmu) hingga menghasilkan ribuan buku mengenai hadis. Salah satu penyusun hadis yang berasal dari periode ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Ia menyusun kitab Musnad Ahmad yang berisi 30 ribu hadis dalam 24 juz.
Periode Keempat
Periode ini dimulai pada abad kelima hingga hari ini. Karya-karya yang dihasilkan dalam periode ini, antara lain penjelasan (syarh), catatan kaki (hasyiah), dan penerjemahan buku-buku hadis ke dalam berbagai bahasa. Pada periode ini pula, para ulama menyusun kitab hadis dengan mencuplik dari kitab-kitab yang pernah ditulis dan disusun pada abad ketiga.
Ulama hadis selanjutnya lalu menyusun syarh atau penjelasan dari buku-buku penjelasan hadis di atas. Misalnya, Muhammad Ismail ash- Shon’ani (wafat 1182 H) menulis kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram yang berisi penjelasan kitab karya Ibnu Hajar al-Asqolani itu, atau Nailul Awthar karya Qadhi asy-Syaukani yang memuat penjelasan dari kitab Muntaqa al-Akhbar.
(Baca: Awal Mula Pengumpulan Hadis)