REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kembali ke awal abad 12, mengawali 300 tahun masa keemasan di mana aktivitas intelektual berkembang, manuskrip kuno itu menunjukkan aspek yang tidak diketahui tentang Afrika. Afrika digambarkan sebagai kerajaan yang kaya di mana sastra, ilmu pengetahuan, dan sejarah berkembang pesat.
Berbagai manuskrip tersebut berasal dari kisaran abad 12 hingga awal abad ke-20, sejak Islamisasi melanda Kekaisaran Mali hingga menurunnya pendidikan tradisional di Sudan. Timbuktu menjadi ibu kota spiritual dan intelektual bagi penyebaran Islam. Kota Timbuktu telah ditetapkan PBB sebagai Situs Warisan Dunia.
Ribuan halaman manuskrip tersebut ditulis dalam berbagai gaya kaligrafi dan dihiasi ilustrasi indah. Berbagai pelajaran ada di dalamnya. Mulai dari arsitektur, astronomi, ekonomi, geografi, matematika, puisi, musik, obat-obatan, tata bahasa, bahkan hak-hak perempuan.
Manuskrip Timbuktu.
Sebagian besar naskah ditulis dalam bahasa Arab, tapi bahasa Afrika, seperti Songhai, Tamasheq, dan Bambara juga digunakan. Naskah tertua berasal dari tahun 1204. Para ahli mengatakan, butuh beberapa pekan untuk mengetahui tingkat kerusakan atas naskah tersebut.
Manuskrip Timbuktu merupakan istilah umum yang digunakan untuk ratusan ribu naskah yang telah dijaga bertahun-tahun oleh keluarga di Timbuktu, Mali. Manuskrip diwariskan turun-temurun dalam keluarga Timbuktu dan sebagian besar dalam kondisi yang buruk. Sebagian besar naskah bertuliskan kaligrafi yang berkaitan erat dengan kekhalifahan Abbasiyah akhir.
Banyak dari naskah kuno tersebut yang belum dipelajari dan belum terkategorisasi. Jumlah pasti naskah itu belum diketahui. Sekitar 160 manuskrip dari Perpustakaan Mamma Haidara di Timbuktu dan koleksi Ahmed Baba, telah dibuat versi digitalnya oleh Tombouctou Manuscripts Project pada 2000-an.
Salah satu situs islam di Timbuktu, Mali
Dengan matinya pendidikan bahasa Arab di Mali saat berada di bawah kekuasaan kolonial Prancis, penghargaan terhadap manuskrip abad pertengahan menurun di Timbuktu. Sebagian lagi banyak yang dijual. Majalah Time pernah menemukan rekening seorang imam yang membeli empat naskah seharga 50 dolar AS per naskahnya. Sangat menyedihkan, pada Oktober 2008 salah satu keluarga kebanjiran dan kehilangan 700 manuskrip.
Pada 1970 UNESCO mendirikan sebuah organisasi yang bertugas melestarikan naskah tersebut, tapi tidak didanai hingga 1977. Pada 1998, profesor dari Universitas Harvard Henry Louis Gates mengunjungi Timbuktu untuk membuat seri Keajaiban Dunia Afrika. Serial ini membangkitkan kesadaran publik dan akademisi terhadap naskah, sekaligus mengundang kucuran dana.
Masjid Sankore di Timbuktu, Mali.
Proyek Manuskrip Timbuktu adalah sebuah proyek Universitas Oslo yang berjalan pada 2000 sampai 2007. Tujuannya, membantu melestarikan naskah secara fisik, mendigitalkan, membangun katalog elektronik, dan membuatnya dapat diakses untuk penelitian.
Di antara hasil dari program ini adalah menghidupkan kembali seni kuno penjilidan buku, melatih sejumlah ahli lokal dan merancang, menyiapkan database elektronik untuk katalog naskah yang dilakukan di Institut des Hautes Études et de Recherche Islamique Ahmad Baba (IHERIAB), memfasilitasi pertukaran ilmiah dan teknis dengan para ahli naskah di Maroko dan lainnya, dan menerbitkan buku berilustrasi indah berjudul The Hidden Treasures of Timbuktu: Historic City of Islamic Africa (Warisan Tersembunyi Timbuktu: Sejarah Kota Islam Afrika).
Sedangkan, Tombouctou Manuscripts Project adalah proyek terpisah yang dijalankan Universitas Cape Town. Dalam kemitraan dengan pemerintah Afrika Selatan, proyek ini merupakan proyek budaya resmi pertama dari Kemitraan Baru untuk Pembangunan Afrika. Proyek didirikan pada 2003 dan masih berlangsung.
(Baca: Menyelamatkan Manuskrip Timbuktu)