REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Iran mengancam mundur dari kesepakatan nuklir yang dicapai pada 2015 lalu. Hal itu akan dilakukan jika kesepakatan tersebut tidak membawa dampak positif bagi perekonomian. Kondisi itu ditambah dengan kegagalan perbankan mencapai kesepakatan bisnis dengan Iran.
Pernyataan tersebut dilontarkan menyusul keinginan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menilai kesepakatan tersebut mengandung kecacatan. AS mengancam akan menarik diri dari kesepakatan tersebut jika kesalahan yang ada tidak diperbaiki.
Bubarnya perjanjian nuklir 2015 akan membuat Iran terbelit sanksi ekonomi yang diberlakukan Amerika. Pemerintahan Presiden Hassan Rouhani mengatakan, jika kebijakan tersebut tetap dilanjutkan dan bila perbankan gagal bekerja sama, maka tak ada gunanya Teheran berkomitmen pada kesepakatan tersebut.
"Kesepakatan tidak akan terjadi dengan cara seperti itu bahkan jika ultimatum diloloskan dan sanksi diperpanjang," kata Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi, Kamis (22/2).
AS mengemukakan tiga hal yang harus diperbaiki dari perjanjian tersebut. Pertama, tuntutan kepada Iran agar mengizinkan adanya pemeriksaan di semua bidang yang diminta oleh inspektur internasional.
Kedua, kesepakatan harus memastikan Iran tidak pernah membuat senjata nuklir. AS juga mengkritik kesepakatan nuklir karena beberapa aspek dari perjanjian tersebut akan berakhir setelah 10 atau 15 tahun.
Iran menegaskan, bubarnya Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) akan membawa dunia pada sebuah krisis nuklir lainnya. Dia mengatakan, mempertahankan JCPOA bukan merupakan pilihan antara pasar Iran atau AS atau pilihan kerja sama ekonomi.
"Ini adalah pilihan antara memiliki keamanan atau ketidakamanan," ungkap Araqchi.
Pernjanjian nuklir Iran 2015 disepakati oleh AS, di bawah pemerintahan mantan presiden Barack Obama, Iran, Inggris, Cina, Prancis, Jerman dan Rusia.
Kesepakatan ini dibuat untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir dengan menawarkan keringanan sanksi yang mengizinkan mereka berpartisipasi dalam perdagangan dan perbankan internasional.
Baca juga, Ada yang Berbeda dalam Demonstrasi Iran Kali Ini.
Berdasarkan undang-undang AS, presiden diharuskan memperbarui pengabaian sanksi setiap 120 hari. Pada Oktober tahun lalu, Trump menolak untuk menegaskan bahwa Iran telah mematuhi kesepakatan tersebut. Ia mengatakan, ini adalah salah satu transaksi terburuk dan paling sepihak yang pernah dilakukan AS.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini mengatakan, kesepakatan tersebut berjalan baik. Tujuan utamanya menjaga agar program nuklir Iran diawasi dengan ketat.