Senin 26 Feb 2018 21:04 WIB

Pengamat: Rendahnya HPP Cederai Petani

Bila HPP yang rendah ini dipertahankan bakal menjadi masalah besar dan serius.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Budi Raharjo
Petani memasukan gabah kedalam karung saat panen raya. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Petani memasukan gabah kedalam karung saat panen raya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR -- Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai, harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah petani saat ini tidak relevan. HPP ditetapkan sebesar Rp 3.700 per kilogram.

Penyebab utamanya, kenaikan HPP sebanyak 12 persen tidak sebanding dengan inflasi yang mencapai 28 persen pada 2017. Dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang tata kelola produksi pangan nasional di IPB International Convention Center, Bogor, Senin (26/2), mencuat usulan agar HPP ditingkatkan sampai Rp 4.700 per kilogram.

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa, mengatakan HPP saat ini sudah terbilang tidak masuk akal. "Bagi kami, itu mencederai para petani," tuturnya ketika ditemui Republika.co.id usai diskusi.

Dwi menambahkan, apabila HPP yang dianggapnya rendah ini terus dipertahankan, akan menjadi masalah besar dan serius. Sebab, inflasi menyebabkan biaya produksi semakin meningkat dan akan berdampak terhadap produktivitas.

Tujuan awal dari HPP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Tapi, kenyataannya, Dwi melihat bahwa HPP saat ini belum sampai ke tujuan tersebut. Pembelian gabah di tingkat petani masih mengacu pada HPP sebesar Rp 3.700 per kilogram itu, sedangkan biaya produksi meningkat. "Mereka justru nanti merugi," ucapnya.

Sebagai antisipasi permasalahan ini, Dwi menganjurkan kepada pemerintah untuk segera meningkatkan nominal HPP. Bahkan, kalau bisa, kenaikkan dilakukan sebelum puncak masa panen yang diprediksi terjadi pada April 2018.

Dwi memperkirakan, pada puncak panen itu, produksi petani akan melimpah dan berdampak pada anjloknya pembelian gabah. "Kalau HPP naik, maka petani bisa terhindar dari kerugian yang lebih parah," ucapnya.

Seharusnya, menurut Dwi, HPP bisa menyentuh angka Rp 4.700 per kilogram. Dengan asumsi biaya produksi masa kini yang mencapai Rp 4.200 per kilogram, maka petani dapat mencapai untung Rp 500 per kilogram. Bahkan, tidak menutup kemungkinan dapat meraup untung sampai Rp 1.000 jika biaya produksi bisa ditekan.

Dwi menyebutkan, HPP minimal yang dianjurkannya adalah Rp 4.300 per kilogram gabah kering panen agar petani bisa dapat untung. Peranan pemerintah pun diharapkan Dwi bisa semakin signifikan. "Termasuk dengan membeli gabah kering panen langsung dari para petani, karena bisa menyejahterakan mereka," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perhepi, Bastanul Arifin, menjelaskan, nilai HPP sudah sepatutnya direvisi. Terlebih, nominal yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden nomor 5/2015 tersebut tidak mengalami perubahan berarti sepanjang dua tahun belakang.

Tidak hanya menaikkan HPP, Bastanul berharap banyak terhadap pengutan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menyerap hasil produksi petani. Dua unsur ini akan memberi dampak positif signifikan terhadap kesejahteraan petani jika berjalan beiringan.

Menurut data yang ada pada 2017, Bulog hanya mampu menyerap 2,16 juta ton gabah setara beras, masih kurang dari target serapan 3,7 juta ton. "Kalau serapan Bulog rendah, cadangan pemerintah berkurang, berdampak harga pasaran naik, dan sudah dipastikan, akan ada impor," ucap Bastanul.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement