REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, ketimpangan di Indonesia menunjukkan tren menurun. Indikatornya adalah tingkat koefisien gini yang membaik.
Bambang menjelaskan, pada tahun 2012-2014 koefisien gini berada di angka 0,413. "Dan sejak 2015-2017 trennya menurun," kata Bambang dalam keterangan tertulis, Rabu (28/3).
Dia menjelaskan, rasio gini pada 2017 menunjukkan sudah lebih dekat ke angka 0,39 atau menjauh dari 0,40. Secara konsep, ujar dia, kalau koefisien gini 0,40 berarti tingkat ketimpangan sudah perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang tentunya tidak diinginkan.
"Namun, dengan perbaikan yang terus menerus, saat ini koefisien gini berada di 0,391 dan tentunya kita harapkan trennya terus membaik," ujar dia.
Sebelumnya, dalam acara Peluncuran IDF 2018 sekaligus Peluncuran Call for Papers IDF 2018, pekan lalu, Bambang mengatakan bahwa masalah ketidakmerataan dan ketimpangan bukan hanya isu untuk Indonesia saja, melainkan juga menjadi isu dunia.
Di Indonesia sendiri, kata Bambang, selain ketimpangan antar individu, pembangunan Indonesia juga dihadapkan pada ketimpangan antarwilayah, baik antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Selain itu, antara daerah tertinggal dan daerah maju.
Sekitar 80,15 persen kontribusi wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari Kawasan Barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa dan Sumatra.
Sementara itu, Kawasan Timur Indonesia masih belum berkontribusi secara optimal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam soal kesenjangan antarwilayah, pertanyaanya bukan bagaimana menghilangkan kesenjangan wilayah, tapi bagaimana mengurangi kesenjangan yang sebenarnya juga tidak gampang.
"Di Indonesia, Pulau Jawa menyumbang 58 persen PDB, sementara luar Jawa 42 persen PDB," ujar Bambang.
Bambang menambahkan kontribusi 58 persen PDB dari pulau Jawa terjadi sejak zaman desentralisasi. Seharusnya penerapan desentralisasi dapat mengurangi kesenjangan. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Untuk itu, harus ada upaya dan kerja yang lebih keras lagi untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan membangun konektivitas.
Dalam konteks inilah, kata Bambang, pembangunan infrastruktur sangat diperlukan karena sejatinya infrastruktur merupakan jawaban dari konektivitas. Kalau infrastruktur tidak dibangun, ekonomi menjadi tidak efisien. Saat ini, rasio biaya logistik terhadap total biaya produksi masih tinggi, yaitu 30 persen.
Padahal yang ideal biaya logistik 5-7 persen dari total biaya produksi seperti yang selama ini berlangsung di negara maju. "Jadi, mau tidak mau infrastruktur seperti pelabuhan, bandara, rel kereta api, dan jalan raya, semuanya memang harus dibangun," kata Bambang.