REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Presiden baru Myanmar Win Myint mengatakan pada Selasa (17/4) bahwa ia akan membebaskan lebih dari 8.000 tahanan sebagai amnesti. Presiden itu menjelaskan langkah itu bertujuan untuk membawa perdamaian sebagai bagian dari perayaan tahun baru Myanmar. Tidak disebutkan kapan amnesti akan berlangsung.
"Untuk membawa kedamaian dan kesenangan hati orang-orang, dan demi dukungan kemanusiaan, 8.490 tahanan dari penjara masing-masing akan diberikan pengampunan," kata Kantor Kepresidenan dalam sebuah pernyataan.
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi telah mengakhiri perang saudara dan menjadikan rekonsiliasi nasional sebagai prioritas utamanya. National League for Democracy yang berkuasa mengambil tampuk pemerintahan pada 2016. Mereka memimpin di tengah harapan tinggi akan kebebasan yang lebih besar, setelah hampir setengah abad kekuasaan militer.
Menurut sebuah pernyataan di Facebook oleh juru bicara pemerintah Zaw Htay, lebih dari 6.000 tahanan yang dijatuhi hukuman berdasarkan tuduhan terkait narkoba akan dimasukkan dalam pengampunan. Ia juga menyebutkan hampir 2.000 anggota militer dan polisi Myanmar, yang dipenjara di bawah Undang-Undang Militer atau Undang-Undang Disiplin Kepolisian, akan dibebaskan. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu, total 36 tahanan dalam daftar pengawasan hak asasi manusia, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), juga termasuk dalam amnesti.
Akan tetapi, dua wartawan Reuters yang dipenjarakan di Myanmar tidak termasuk dalam amnesti tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh juru bicara Departemen Penjara Myanmar, Min Tun Soe, mengutip proses hukum yang sedang berlangsung.
Pengadilan di Yangon telah mengadakan sidang pendahuluan sejak Januari untuk memutuskan apakah kedua jurnalis itu akan dituntut di bawah Undang-Undang Rahasia Pejabat era kolonial. Dengan demikian mereka terancam hukuman maksimal 14 tahun penjara.
Ratusan tahanan politik telah dibebaskan dari penjara-penjara Myanmar dalam amnesti dalam beberapa tahun terakhir. Itu termasuk puluhan orang yang dibebaskan pada April 2016, beberapa hari setelah partai pemenang Nobel Suu Kyi mengambil alih kekuasaan setelah hampir 50 tahun pemerintahan militer.
Konstitusi Myanmar mewajibkan pemerintah sipil Suu Kyi untuk berbagi kekuasaan dengan militer yang kuat. Militer kemudian mengontrol pos-pos kabinet utama termasuk hukum dan ketertiban dan keamanan.
"Kami mengajukan daftar 44 tahanan politik dan sekarang 36 orang dibebaskan. Amnesti ini adalah kabar baik dan kami menyambut dan mendukungnya," kata perwakilan AAPP Myanmar Aung Myo Kyaw.
Sebelum pengumuman pengampunan tersebut, ada 240 aktivis politik yang dipenjarakan atau menunggu persidangan di Myanmar, menurut AAPP.
Suu Kyi, yang menghabiskan bertahun-tahun di bawah tahanan rumah, mengatakan bahwa melepaskan tahanan politik yang tersisa adalah prioritas utama. Ia membantah kritik pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan proses perdamaian yang gagap.
Selain itu, pemerintahnya juga menghadapi kecaman internasional karena operasi militer terhadap Muslim Rohingya. Operasi militer yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis tersebut telah membuat 700 ribu anggota Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.