REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Harian Asosiasi Pembangkit Listrik Swasta Indonesia (APLSI) APLSI, Arthur Simatupang mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir dengan polusi dari pembangkit listrik tenaga uap. Menurutnya, PLTU saat ini menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan. "Tak perlu khawatir dengan pembangunan PLTU. Saat ini, PLTU sudah menggunakan ultra supercritical yang lebih ramah lingkungan," kata Arthur, Kamis (26/4).
Dengan inovasi dan perkembangan teknologi, pembangkit listrik mengalami perubahan drastis dalam 10 tahun terakhir. Teknologi lama subcritical mulai ditinggalkan, dan dunia beralih ke teknologi yang modern.
Teknologi ultra super critical (USC) memiliki tekanan dan temperatur uap lebih besar 26 Mpa dan 700 Celcius, sehingga efisiensinya mendekati 50 persen. Di Pulau Jawa, ada beberapa PLTU yang memerlukan USC seperti PLTU Jawa 7, PLTU Jawa 9, PLTTU Jawa 10, PLTU Cirebon 2 dan PLTU Cilacap.
Namun, beberapa pembangkit berbahan bakar batu bara yang menerapkan HELE (High Efficiency Low Emission) mengalami kendala, seperti tahap perizinan lahan, perizinan lingkungan dan pembebasan lahan. Arthur mengatakan, pemerintah jangan lepas tangan terhadap hal ini. PLTU yang ramah lingkungan perlu dukungan, seperti kepastian hukum dan kepastian investasi secara jangka panjang.
Pemerintah seakan lepas tangan. Harusnya, pembangunan PLTU itu didukung dengan berbagai upaya agar mendapatkan kepastian hukum dan kepastian investasi. Mungkin bisa disosialisasikan bahwa PLTU itu sekarang sudah ramah lingkungan, katanya.
Indonesia masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap. Hal ini dikarenakan harga listriknya yang lebih murah dibandingkan pembangkit lain. Harga jual listrik masih US4-6 cent per kWh. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2018-2027, pembangunan pembangkit masih didominasi oleh PLTU.