REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Parlemen Israel, Knesset, telah memberikan kekuatan baru bagi perdana menteri pada Senin (30/4). Keputusan itu menyatakan, perdana menteri Israel hanya perlu mendapatkan persetujuan dari menteri pertahanan untuk bisa memutuskan perang.
Knesset melakukan pemungutan suara untuk mengamandemen undang-undang (UU) yang sebelumnya mengharuskan seluruh anggota kabinet memberikan suara dalam memutuskan perang. Kewenangan itu kemudian diberikan hanya kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman.
Knesset menyetujui amandemen itu dengan suara 62-41, yang memungkinkan Netanyahu dan Lieberman untuk menyatakan perang dalam situasi ekstrem. Amandemen ini diumumkan Netanyahu dalam pidatonya pada Senin (30/4) di Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv.
Menurut surat kabar Haaretz, Foreign Affairs and Defense Committee dan Constitution, Law, and Justice Committee pada awalnya menentang amandemen tersebut. Namun Knesset kemudian menyetujuinya setelah pembahasan kedua dan ketiga.
Meskipun Netanyahu saat ini masih membutuhkan persetujuan dari Lieberman, tidak jarang perdana menteri Israel akan diangkat sebagai menteri pertahanan saat masih menjabat. David Ben-Gurion, Menachem Begin, Yitzhak Rabin, Ehud Barak, dan Shimon Peres semua menjabat sebagai menteri pertahanan saat masih bertugas sebagai perdana menteri.
Selain mengumumkan amandemen itu, pidato yang disampaikan Netanyahu bertujuan mendesak Amerika Serikat (AS) agar membatalkan atau menegoisasi ulang kesepakatan nuklir Iran. Kesepakatan itu dicapai antara Iran dengan AS, Prancis, Rusia, Jerman, Cina, Inggris, dan Uni Eropa pada 2015.
Menurutnya, setelah menandatangani kesepakatan tersebut, Iran masih mengintensifkan upaya untuk menyembunyikan program senjata nuklirnya. Televisi pemerintah Iran kemudian menyebut tuduhan Netanyahu itu sebagai sebuah propaganda.