REPUBLIKA -- Hubungan India dan Nusantara telah terjadi semenjak dahulu kala. Bahkan, kedua wilayah ini mempunyai banyak kesamaan. Apalagi suasana India (termasuk Pakistan) sangat mirip dengan nuansa Indonesia.
Di kota Mumbai tak beda dengan Jakarta. Lalu lintasnya hiruk pikuk. Suasana jalan dipenuhi suara klakson. Dari kereta atau alat angkut tradisional memenuhi jalan. Di wilayah pedesaan (minus wilayah gurun di India dan Pakistan) suasana nyaris sama. Cuma jalanan desa di sana masih bisa ditemui keledai dan onta yang menarik gerobak.
Bedanya dengan Indonesia, terutama Jawa, jarak antar kampung sudah berhimpitan. Kini tak ada lagi jarak yang kosong yang luas, misalnya untuk area persawahan. Padahal di India dan juga Pakistan, jarak antardesa lumayan terpisah. Aneka tanaman jeruk , kapas, dan gandum terhampar di sana. Dan di saat musim jeruk berbuah kawasan pertanian di sana berubah menjadi berwarna kuning, layaknya area sawah di Jawa menjelang musim panen padi.
Bedanya lagi, di India para pemuda di kampung-kampung terlihat suka bermain kriket. Di sana jarang ditemui anak-anak muda bermain sepakbola. Idola di sana adalah mastreo kriket 'Imran Khan.' Di Pakistan nama Imran Khan terlihat dijalan-jalan. Apalagi kini dia juga menjadi politisi.
Suasana kota pedalaman di India dan Pakistan relatif sepi. Kalau dibayangkan mirip Wonosoba atau Temanggung. Di Pakistan juga kerap terjadi banjir bandang akibat meluapnya aliran sungai.
Mendiang Nurcholish Madjid kerap membandingkan Indonesia (Jawa terutama) dengan India. Pengaruh keduanya tempat ini memang ada. Dan salah satunya terlihat pada bangunan arkelogi lamanya, yaitu aneka candi. Apalagi banyak guru spiritual atau pengelana sufi yang datang ke Nusantara bersama para pedagang asal salah satu area di India, yakni Gujarat.
‘’Uniknya, Jawa (Nusantara) yang kini penduduknya mayoritas beragama Islam, bangunan monumentalnya adalah candi Hindu dan Budha seperti Prambanan dan Borobudur. Di India sebaliknya, bangunan monumentalnya adalah peninggalan Islam seperti Istana, masjid, hingga makam yang megah milik putri Mumtaz Mahal (Monumen Taj Mahal),’’ kata Cak Nur (Nurcholish Madjid) suatu ketika.
Pengaruh makanan ala India juga membuat jejak di Nusantara. Di Aceh jejak makanan itu terasa sekali, mulai dari kari, martabak, hingga makanan ala kebab.
Di tempat lain juga ada jejak makanan India. Salah satu diantaranya adalah pada makanan serabi (surabi) dan apem. Kedua makanan banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia khususnya Jawa dan Sumatra.
“Menurut ahli sejarah kuliner, makanan ini berasal dari India Selatan. Orang Islam di Malabar India Selatan dan juga orang Jawa dan Melayu di Indonesia menyajikan kue apem atau serabi pada perayaan hari besar Islam,’’ kata Prof Abdul Hadi WM, Guru Besar Filsafat Islam Universitas Paramadina Jakarta.
Harap tahu saja, lanjutnya, sebelum orang Belanda datang ke Indonesia (abad ke-17 M) orang India telah memperkenalkan apem dan serabi di Indonesia (baca Woodward "Islam Jawa"). Kue ini kemudian disebut ‘pancake’, meski sebutan baru dikenal pada abad ke-20 M
Bahkan, lanjut dia, di daerah tertentu seperti Madura, yang disebut apem memakai kuah gula. Sedangkan serabi tidak dimakan dengan kuah gula, karena sudah manis. Di daerah lain serabi yang pakai gula, misalnya di Bandung.
Dan, ternyata banyak lagu anak-anak berkenaan dengan serabi, antara lain seperti berikut ini:
Pak kopak eleng
Dandangnga sakoranji
Eppak entar ngaleleng
Nak tambang tao ngaji…
Nak tambang tao ngaji
Ngaji babana tanggi
Ka` angka`na sarabi...
Artinya:
Tepuk tepuk tangan
Dandangnya banyak isinya
Ayah pergi ke mana-mana
Anak sudah pandai mengaji...
Anak pandai ngaji
Ngaji dekat tanggi
Hidangannya serabi..